YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com— Guru bangsa dan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan supaya para pemimpin di Indonesia diisi oleh tokoh-tokoh yang berintegritas dan terbebas dari kepentingan politik praktis.
“Jangan jadikan politik sebagai mata pencaharian. Pemimpin harus bebas dari politik praktis,” ungkap Buya Syafii dalam acara Dialog Kebangsaan dengan tema Mewujudkan Cita-cita Pendiri Republik: Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Politik, di Sportorium Universitas Muhammmadiyah Yogyakarta, Senin malam (24/05).
Menurut Buya, sebagai salah satu konsekuensi dari system demokrasi modern, kehadiran partai politik memang penting sebagai salah satu pilar demokrasi, namun terkadang politik dikotori oleh para pemainnya. Para pemain politik ini disebut Buya sebagai politisi yang wawasan politiknya tidak lebih luas dari halaman rumahnya.
Secara spesifik, Buya Syafii menyebut institusi Polisi, khususnya Kapolri harus benar-benar terbebas dari kepentingan pragmatis. “Kapolri yang akan datang jangan sampai dipengaruhi partai politik. Sehingga ke depan, kalau dia ditentukan parpol maka fungsi sebagai pelayan masyarakat masih sulit,” ujar Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Lanjut Buya, penyebab dari pemimpin yang membawa kepentingan partisan, telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah 70 tahun merdeka, bangsa Indonesia belum mampu bangkit. Kelemahan bangsa Indonesia adalah tidak mampu berpikir sehat dan suka menyalahkan orang lain. Meskipun banyak kemajuan yang sudah diperoleh, namun masalah kesenjangan justru semakin menjadi-jadi. “50 % kekayaan di Indonesia dikuasai oleh 1 % orang,” tutur Buya Syafii
Di bagian lain, Buya Syafii Maarif menyinggung tentang peranan Negara dalam menghilangkan sekat kesenjangan. Menurutnya, bangsa Indonesia masih belum sungguh-sungguh menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 tentang kedaulatan ekonomi bagi segenap rakyat Indonesia. Demikian halnya dengan amanat dari Pancasila sila Kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Bagi Buya, amanat untuk mewujudkan kesejahteraan ini juga sesuai dengan pesan al-Quran yang sangat pro terhadap orang miskin namun anti akan kemiskinan.
Akibat dari pengabaikan itu, menurut Buya merupakan sebab dari kemunduran Indonesia. “Kita berkhianat pada founding father. Bangsa ini menjadi tidak jelas, mau kita bawa kemana,” kata Buya di hadapan para Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Perwakilan Majelis dan Lembaga Muhammadiyah, serta ratusan tamu kehormatan lainnya.
Selain Buya, hadir sebagai pembicara dalam sesi ini adalah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang juga penasehat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu Prof Jimly Asshidiqie dan Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga anggota pertimbangan presiden (Watimpres) KH Hasyim Muzadi. (Ribas/Ns)