YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.com —Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mendapat kehormatan diundang oleh Kementrian Urusan Agama (Diyanet) Turki untuk presentasi makalah terkait dengan Penyatuan Kalender Hijriah global pada tanggal 28-30 Mei 2016. Kongres Internasional Penyatuan Penanggalan Islam ini diinisiasi oleh ilmuwan syariah dan falak dari tujuh Negara; USA, Mesir, Turki, Suriah, Jordan, Qatar dan Eropa.
Konferensi bertajuk “International Start of the Lunar Months and Hijri Calender Unity Congress” ini terselenggara berkat kerjasama Diyanet (Presidency of Religious Affairs/Kementerian Urusan Keagamaan Turki) dengan Islamic Crescents Observation Project (ICOP). Konsep yang digunakan dalam kongres ini bukanlah presentasi orang-perorang, melainkan semacam review bersama terhadap gagasan-gagasan dari seluruh paper yang diterima. Diharapkan pertemuan ini sudah sampai pada pembicaraan mengenai alternatif dan kriteria kalender yang akan digunakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia.
“Konferensi itu namanya Kongres Internasional Permulaan Awal Bulan dan Penyatuan Penanggalan Islam. Sifatnya call paper. Siapa saja yang berminat untuk menulis boleh mencoba. Syaratnya, setiap penulis harus menyertakan satu konsep kalender Islam terpadu. Kemudian paper-paper itu diseleksi oleh panitia khusus, yang mereka sebut sebagai scientific committee (panitia ilmiah), termasuk anggotanya adalah Nidhal Guessoum, Mohammad Audah, Jamaluddin ‘Abdurraziq, Syaraf al-Qudah dan beberapa yang lain. Setelah itu, paper-paper yang diterima, digodog oleh panitia tersebut,” ungkap Syamsul Anwar.
Guru Besar Ilmu Syariah UIN Sunan Kalijaga ini telah mengirim makalah yang berjudul “al-Tawajjuh Naḥwa Tauḥīd al-Taqwīm ‘inda al-Muslimīn wa Ahammiyah al-Sīghah al-Aḥādiyyah” (Jalan Kearah Penyatuan Penanggalan Bagi Umat Islam dan Pentingnya Bentuk Kalender Islam Pemersatu). Dalam Kongres ini, Prof Syamsul menjadi menjadi salah satu dari sepuluh orang yang menjadi pembahas konsep Kalender Hijriyah Global . “Yang saya tahu paper tentang rancangan kalender yang diterima untuk dikonferensikan seluruhnya ada sepuluh. Jadi memang tidak banyak. Jadi dari paper-paper yang diterima itu diambil saripatinya kemudian dijadikan satu rumusan kalender. Rumusan inilah yang nanti akan dibahas dalam konferensi tersebut,” terang Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis (20/5/2016).
Kongres ini adalah pertemuan yang sangat strategis bagi upaya mencari solusi untuk problem perbedaan waktu puasa dan hari raya yang terjadi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Muhammadiyah sendiri sudah cukup lama memiliki konsen ke arah penyusunan dan penyatuan konsep Kalender Hijriyah Global. Pada tahun 2007, Muhammadiyah turut hadir dalam Temu Pakar untuk Perumusan Kalender Hijriyah Global yang diadakan oleh ISESCO di Rabat, Maroko.
Pada tahun 2015 Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid juga telah menerbitkan buku yang berjudul Unifikasi Kalender Hijriyah. Bahkan pada Muktamar ke-47 di Makassar tahun lalu, masalah penyatuan kalender juga menjadi salah satu poin rekomendasi dalam Isu-isu Strategis Keumatan.
Bagi Muhammadiyah, kehadiran kalender yang bersifat menyatukan adalah PR besar umat Islam. Muhammadiyah meyakini bahwa Kalender Pemersatu adalah hutang peradaban yang tidak bisa ditunda-tunda lagi kehadirannya. Belum terwujudnya kalender Islam pemersatu hingga hari ini telah mengakibatkan kacaunya sistem tata waktu umat Islam di berbagai penjuru dunia. Dengan tidak adanya sistem tata waktu tunggal di usia peradaban Islam yang sudah cukup tua ini, tentu menjadi ironi tersendiri bagi umat Islam. Masih kukuhnya paradigma rukyat di tengah-tengah umat ditengarai menjadi salah satu faktor utama mengapa peradaban Islam masih belum mampu memiliki kalender Islam terpadu.
Dalam presentasinya, Prof Syamsul akan menguraikan tentang pentingnya penyatuan kalender hijriah global sebagai kalender pemersatu. “Karena itu saya harus mempersiapkan argumen yang akan saya sampaikan besok untuk menolak kalender zonal, di mana apabila kalender ini yang akan diberlakukan, pada tahun-tahun tertentu akan ada tanggal yang berbeda dalam satu hari. Di antara argumen yang akan saya sampaikan nanti yaitu tentang penyatuan hari Arafah, supaya umat Islam tidak bertanya-tanya lagi tentang perbedaan pelaksanaan puasa Arafah,” tuturnya.
Ketika ditanya tentang poin penting dari makalah yang dipersiapkan, Syamsul Anwar menjelaskan panjang lebar. “Inti dari makalah saya itu: Pertama, perlunya kalender pemersatu, karena itu adalah hutang peradaban yang harus segera dibayar. Kedua, kalender itu harus bersifat tunggal; satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Dan untuk mewujudkan kalender itu mau tidak mau kita harus menggunakan hisab, tidak mungkin menggunakan rukyat. Lalu saya juga menjelaskan tentang bagaimana mekanisme syar’i untuk berpindah dari rukyat ke hisab. Ada tiga argumen yang saya ajukan: (1) teori perubahan hukum, (2) teori akhaffu al-dhararain: mana yang lebih besar mudaratnya kita mengorbankan rukyat atau mengorbankan penyatuan kalender yang mengakibatkan kacaunya sistem tata waktu umat Islam, dan (3) teori ‘illat hukum,” ulasnya.
Dalam makalahnya, Prof Syamsul juga menyinggung tentang imkanu rukyat yang harus terstandar dan valid. “Konsep dan syarat dalam membuat kalender unifikatif, di mana salah satu yang pokok ialah bahwa kalender itu tidak boleh menyebabkan bagian tertentu dari dunia tertunda masuk bulan baru karena menunggu kawasan lain. Atau sebaliknya, kawasan lain dipaksa masuk bulan baru padahal belum ijtimak di kawasan itu. Nah di situ saya juga jelaskan bahwa kita harus membedakan imkanu rukyat sebagai syarat dan sebagai kriteria. Jadi kalau imkanu rukyat itu dijadikan kriteria, saya menolak. Apalagi imkanu rukayat dengan teropong, karena teropong dari waktu ke waktu itu berubah-ubah. Bisa saja sekarang belum bisa diteropong, tapi bisa jadi besok sudah dapat diteropong dengan ketinggian yang sama. Berarti kalau teropongnya berubah, kalender itu tidak akan valid lagi. Oleh karena itu imaknu rukyat yang dimaksud dalam penyatuan kalender adalah sebagai syarat bukan keriteria. Jadi untuk masuk bulan baru harus sudah imkanu rukyat. Lalu, imkanu rukyat yang seperti apa? Itu tidak penting, yang penting imakanu rukyat. Karena jika itu ditetapkan ukurannya, maka akan mempersulit,” tuturnya panjang lebar. (Ribas/Alma/Rf)