Oleh; Nadia E Hisyam
Sebagai seorang anak biasa-biasa saja dari seorang tokoh Muhammadiyah yang luar biasa, saya merasa berkewajiban untuk berkomentar, terlebih menambahkan apa yang Bapak Amien Rais maksud dalam tulisannya. Supaya kita lebih leluasa memperoleh titik terang dalam problema Muhammadiyah, yakni melahirkan kader-kader baru Persyarikatan.
http://devsm.smitnetwork.com/kolom/amien-rais/2016/02/07/menumbuhkan-kader-penerus-perjuangan/
Bapak saya enam tahun mengenyam pendidikan pesantren. Tentu kefasihan membaca dan memahami Al-Qur’an dan kitab berbahasa Arab hingga berpidato tidak perlu diragukan. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam, dan kini menjadi tokoh Muhammadiyah daerah yang sehari-harinya mengisi pengajian, memimpin rapat, menyulut militansi ortom, serta blusukan ke sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Ibu saya hanya tiga tahun mengenyam pendidikan pesantren, namun cukup memahami bahasa Arab dan fasih membaca Al-Qur’an. Selanjutnya bersekolah di sekolah menengah Muhammadiyah dan melanjutkan ke Universitas Islam. Kini Ibu saya menjadi Tokoh ‘Aisyiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiyah daerah, serta masih mau menyibukkan diri mengajar anak-anak di sekitar rumah supaya mampu membaca Al-Qur’an dengan mendirikan TPQ. Bagi anda barangkali luar biasa, bukan? Ini baru kedua orangtua saya. Kedua orangtua dari Bapak saya juga tokoh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, mereka berhasil mendirikan TPQ terbesar di kota, dan baru-baru ini memprakarsai berdirinya SD ‘Aisyiyah di kota mereka. Orangtua Ibu saya pun keduanya tokoh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Mereka memberikan sumbangan besar bagi Muhammadiyah daerah dan nama keluarga Ibu saya dielu-elukan warga Muhammadiyah. Saya Nadia Elasalama, (bangga) lahir dalam keadaan Muhammadiyah.
Bukan menyombongkan diri, toh ini juga mengingatkan saya bahwa akan sangat menyedihkan, sangat disayangkan, sangat memprihatinkan, sangat merugi —apabila perjuangan Muhammadiyah berhenti pada generasi saya. Atau bahkan, berhenti pada saya sendiri.
Saya dididik di TK, SD, dan SMP milik Muhammadiyah. Selanjutnya saya melanjutkan sekolah ke SMA negeri, pun hingga Perguruan Tinggi Negeri, dengan keinginan saya sendiri. Persis seperti alasan klasik para pelajar Indonesia: ingin sekolah di SMA favorit, sebab kira-kira mampu memenuhi keinginannya; supaya mudah mendapat akses berkuliah di perguruan tinggi dengan jurusan yang kualifikasinya dianggap terbaik—atau katakanlah bergengsi. Sesungguhnya alasan tersebut merupakan alasan yang sesat pikir (fallacy), sebab keberhasilan dapat diperoleh di manapun, bahkan sama sekali tak diperoleh walaupun berada di sarangnya. Namun ilmu yang saya ambil di perguruan tinggi memanglah belum tersedia di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, pun sangat tak bergengsi. Meski pengetahuan agama tak terlalu luas dan bersekolah di Muhammadiyah tak tuntas, saya besar berambisi kalau ilmu yang saya ambil saat ini kelak dapat memberikan manfaat guna pergerakan perjuangan Muhammadiyah melalui pengembangan ide dan konsep-konsep dasar maupun penyelesaian masalah yang harus dihadapi bersama.
Tentu kedua orangtua saya lebih menginginkan saya bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Supaya apabila saya berprestasi, maka saya mengharumkan nama sekolah Muhammadiyah. Apabila sekolah Muhammadiyah itu mendidik siswanya dengan baik, maka pastilah saya akan terdidik dengan baik.
Tidak menyekolahkan anak di sekolah Muhammadiyah memang sungguh disayangkan. Namun, tebuslah dengan cara lain. Kenalkan anak pada Muhammadiyah, organisasi Islam paling keren dan progresif. Ajaklah ke pertemuan rutin supaya ia membayangkan perannya kelak apabila aktif di Muhammadiyah, kemudian doronglah untuk bergabung ke organisasi pemuda/kepelajaran Muhammadiyah. Jadikan ia merindukan Muhammadiyah, sehingga ia akan berusaha memberikan kontribusi melalui minat dan kemampuannya.•
_________________________
Nadia E Hisyam, pernah menjadi sekretaris PD IPM Kebumen, kini mahasiswi fakultas filsafat UGM Yogyakarta.