YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa keberadaan Indonesia di tengah era global berada dalam posisi tarikan antara dua arus besar. Jika tidak berhati-hati, maka dengan mudah akan terjebak dalam salah satu dari dua tarikan itu. Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam moderat harus bisa menjadi penyeimbang dan pemberi pilihan alternative.
Menurutnya, dua tarikan itu di antaranya pandangan jangka pendek dan jangka panjang. Belakangan justru pandangan jangka pendek merebak di berbagai organisasi, partai politik, hingga Negara. “Mainset ada kecenderungan semakin memilih jangka pendek dibanding jangka panjang. Cara berfikir ini tidak menafikan seluruh tujuan jangka pendek, ultimate goal,” ungkapnya.
Arus lainnya terkait dengan cara berpikir, antara kualitas dan kuantitas. “Cara berfikir kuantitas dibanding kualitas. Muslim bangga dengan kuantitas, tetapi lupa memikirkan kualitas. Tugas besar bagi kita adalah meningkatkan kualitas anggota Muhhammadiyah,” ujarnya sambil menyebut bahwa Muhammadiyah sejak awal tidak terlalu memperhatikan jumlah, tetapi kualitas. Banyak secara jumlah tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban bagi Negara.
Poin jebakan dua arus besar juga berupa pragmatisme dan idealism serta radikalisme dan revorm. “Dalam jalan radikalisme, bila ingin membangun, harus menghancurkan bangunan yang ada, dengan membangun kembali sesuatu yang baru. Muhammadiyah lebih memilih jalan reformasi, memperbaiki sesuatu yang ada secara pelan-pelan tetapi pasti,” ujarnya.
Dalam hal keagamaan, ada arus besar salafisme dan progresifisme. Salafisme mensyaratkan model Islam yang otentik seperti di zaman nabi, sahabat dan tabiin. Selain tiga generasi ini adalah Islam yang tidak benar, maka muslim zaman sekarang harus kembali ke zaman tersebut secara totalitas, begitu menurut pandangan salafisme.
Syafiq juga menjelaskan arus besar lainnya, yaitu antara pandangan formalistik verbalistik dan subtansialisme. Formalistik mementingkan pada symbol belaka, sementara pandangan substansialisme mementingkan isi dan substansi.
“Dari pertarungan ini, menentukan mana yang akan menentukan kemajuan Islam. Maka dari itu, pemilihan yang tepat harus dipilih oleh Muhhammadiyah. Priotizing, penekanan pada pemikiran jangka panjang, mementingkan pada kualitas, idealisme, revorm, progresivitas, dan substansialisme, sangat signifikan dalam merumuskan Islam berkemajuan dan merumuskan Negara yang berkemajuan,” jelasnya.
Di bagian lain, mantan rector Universitas Muhammadiyah Sidoardjo ini menekankan pentingnya umat Islam menerapkan nilai-nilai ketakwaan dan keimanan dalam kehidupan sehari-hari. “Sesuai dengan ayat bahwa untuk menjadi bangsa yang berhak menadapat barakah, maka kita harus menjadi orang yang beriman dan bertaqwa,” ujarnya.
Lebih lanjut Syafiq menyatakan, dalam konteks berbangsa, Pancasila tidak perlu dipertentangkan. Pancasila justru harus diisi dengan nilai-nilai iman dan taqwa, sebagai guiding principle. Pancasila dimaknai sebagai bagian dari konstektualisasi Islam. (ribas)