YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.id –Keberadaan Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 memungkinkan desa untuk mendapatkan alokasi dana pemerintah yang diperkirakan mencapai 1 milyar per tahun. Dengan regulasi ini, desa mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembangunan secara mandiri. Namun, di sisi lain keberadaan dana ini sekaligus menjadi tantangan bagi desa dan seluruh elemen masyarakat di dalamnya untuk memanfaatkan dana ini secara tepat guna demi pemberdayaan menuju kesejahteraan.
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) DIY bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) gelar Forum Group Discussion (FGD) dengan mendatangkan Kepala Balai PMD Yogyakarta Drs Edy Supriyanta, MSi dan Arie Sudjito, SSos, MSi peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, di ruang sidang Asean UMY Sabtu (28/5).
Edy menjelaskan bahwa tujuan dari adanya UU Desa ini adalah untuk mewujudkan pemerintahan desa dan kelembagaan desa yang berdaya dan mandiri. Dengan adanya kewenangan mengelola alokasi ini secara langsung, diharapkan desa menjadi otonom. Namun, hingga kini masih banyak pengelolaan dana yang berkutat pada urusan bagaimana menghabiskan dana tersebut dan melaporkannya, belum kepada cara pemanfaatan yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat dan sasaran pembangunan. Oleh karena itu, Edy menegaskan bahwa Aisyiyah diharapkan menjadi mitra dalam mewujudkan pemanfaatkan dana desa ini untuk mencapai kesejahteraan warga.
“Dana alokasi sudah ada, tinggal bagaimana mengawal agar program-program yang direncanakan mampu menwujudkan desa yang mandiri dengan mengembangkan sumber-sumber penghasilan asli desa,” ungkapnya.
Selain itu, desa diharapkan juga agar memiliki kemampuan pengelolaan yang baik dan mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Untuk mengawal hal ini, Aisyiyah yang sebagai mitra pemerintah yang tersebar di daerah harus mampu mensinkronkan kegiatan yang dirancangnya dengan program-program desa khususnya 10 program utama Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). “Potensi yang dimiliki oleh desa sangat luar biasa, Aisyiyah dengan potensi yang sangat besar ini harus tau apa saja kewenangan dan visi misi desa agar mampu mensinkronkan kegiatannya,” lanjut Edy.
Sedangkan, Arie menegaskan bahwa desa kini mempunya peluang untuk melakukan trasformasi. Dulu, desa tidak dijadikan sebagai subyek dalam pembangunan dan dianggap tidak mampu menyelenggarakannya dengan mandiri. Padahal menurut Arie, selama ini desa telah berperan sebagai pendorong berjalannya demokrasi yang dapat dilihat dari kegiatan pemilu. “Kita harus mengubah pandangan desa yang dulunya adalah pinggiran, menjadi stategis. Desa adalah sebuah arena karena sudah diberikan kewenangan, dan arena ini harus dimanfaatkan,” tuturnya.
Dalam mengelola dana ini, seharusnya pembicaraan yang ada di tingkat desa bukan lagi berputar di masalah administrasi, melainkan kepada strategi pemanfaatannya. Desa seringkali dianggap sekedar wadah dan lokasi menyalurkan dana pemerintah namun pemanfaatannya tidak sesuai dengan kebutuhan. “Tertib administrasi tapi tanpa terwujudnya kesejahteraan, maka sama saja sia-sia,” tegasnya.
Menurut Arie, yang juga dibutuhkan dalam pengelolaan alokasi adalah database dan pemetaan sumberdaya sebagai bagian dari perencanaan. Database ini kemudian mampu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan warga, dari desa untuk warga. Arie memberikan contoh bagaimana sebuah desa di NTB mampu berinisiatif membuat sebuah komite perlindungan untuk anak karena menyadari adanya kebutuhan tersebut bagi warganya.
Maka, menurutnya Aisyiyah di daerah harus kritis terhadap seluk beluk dana desa di tempatnya berada dan mampu mempengaruhi policy melalui peran aktif dalam musyawarah-musyawarah desa serta sinkronisasi program. Kini, Kepala Desa dan BPD tidak dapat mengambil keputusan sendiri karena harus melibatkan elemen masyarakat dalam musyawarah seperti Musrenbangdes. Selain itu juga, Aisyiyah dihimbau untuk membuat sanggar-sanggar belajar di desa. Di antaranya yang mampu mendukung dan memberdayakan berbagai macam keahlian dan skill sesuai dengan minat kader-kader desa.
“Dengan adanya UU desa jangan malah membuat desa menjadi mundur. Aisyiyah harus mampu membuat agar desa bisa berinovasi, peran Aisyiyah sangat strategis dalam hal perencanaan,” tandas Arie (Th).