Bercermin Pada Kasus Siyono, Pemuda Muhammadiyah Minta Pansus Libatkan PPATK

JAKARTA– Belajar pada kasus yang menimpa terduga teroris Siyono, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, ‎Danhil Anzar Simanjuntak menyarankan supaya Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu meminta masukan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Adanya aliran dana Rp100 juta dari Densus 88 ke keluarga terduga teroris asal Klaten itu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Pansus.

Dahnil berpendapat, bahwa PPATK perlu dimintai keterangannya untuk menciptakan penyidikan kasus tindak pidana terorisme yang mandiri dan kredibel. “Saya kira PPATK perlu didengar, termasuk untuk mengetahui dugaan adanya aliran-aliran ke aparat,” ujarnya dalam rapat bersama antara Pansus revisi UU Antiterorisme dengan ormas keagamaan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2016).‎

Pelibatan PPATK ini dimaksudkan untuk mencari tahu apakah ada aliran dana dari luar untuk Detasemen Khusus 88 Antiteror dalam penanganan kasus terorisme atau tidak. Jika tidak ada, lalu sumber dananya dari mana dan melalui mekanisme seperti apa. “Pansus ini perlu panggil PPATK terkait dengan aliran uang termasuk ke aparat yang terkait isu terorisme,” ungkapnya.

Dahnil menduga dana yang diserahkan oleh Densus kepada keluarga Siyono beberapa waktu lalu masuk dalam kategori gratifikasi dan melanggar hukum. “Saya pikir ada potensi gratifikasi di situ. Dugaan kami uang ini bukan milik kadensus, tapi berasal dari beberapa pihak. Maka kami lapor ke KPK untuk menindaklanjuti apakah ada dugaan gratifikasi atau suap dari uang itu,” ujarnya.

Selain itu, menurut Dahnil, PPATK perlu dimintai menjelaskan terkait dengan dugaan adanya kepentingan pihak ketiga dalam isu terorisme di Indonesia. Sebab, ada temuan pesanan pihak ketiga dalam penanganan terorisme. “Ada data pihak ketiga, negara tetangga. Kok yang minta menangkap (teroris) pihak ketiga,” ‎ungkapnya.

Terkait dengan penanganan terorisme yang dilakukan oleh BNPT dan Densus 88, Dahnil melihat pendekatan Densus 88 dalam menangani suatu kasus justru membuka ruang untuk memproduksi teroris baru, akibat dari dendam dan kebencian pada cara-cara penanganan yang dilakukan (Ribas).

Exit mobile version