Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim
Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah
Usai menghadiri dan menyampaikan sambutan pada acara pelantikan para wakil rektor Universitas Muhammadiyah Jember mewakili Majelis Dikti Litbang PPM belum lama Ini, pada malam harinya, penulis diminta menjadi nara sumber pada acara dialog/pengajian seputar ideologi Muhammadiyah.
Acara yang digagas oleh rektor UM Jember, Dr Hazmi ini, diikuti oleh dosen-dosen AIK, pimpinan universitas, pimpinan ranting, ortom, termasuk IMM. Ini tradisi yang sangat baik tidak saja karena formal pengajiannya, akan tetapi juga karena melalui forum-forum seperti inilah attachment atau pertautan baik secara personal kelembagaan maupun ideologis warga persyarikatan dengan Muhammadiyah bisa memperoleh penguatan. State of mind atau alam pikiran dan spirit kepejuangan Tajdidi dan Tanwiri Muhammadiyah terwariskan secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sekali lagi, spirit menyediakan diri untuk menjadi bagian dari gerakan civil society Islam terbesar di dunia dan tertua yang sudah melebihi satu abad ini menjadi sangat penting, historis dan monumental apalagi dalam konteks pengarusutamaan Islam Rahmatan Lil Alamin dan kebangsaan kita.
Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapat perhatian serius oleh seluruh warga persyarikatan Muhammadiyah antara lain ialah:Pertama, corak pemahaman keislaman yang tidak terikat secara tradisional dengan satu madzhab tertentu.
Muhammadiyah memandang bahwa tradisi intelektual dan keagamaan yang dikembangkan oleh para Imam Madzhab adalah sebuah warisan yang sangat berharga menjadi pedoman praktis beragama masyarakat dan karena itu harus tetap dihormati.
Dalam realitasnya, warisan Madzhab keislaman misalnya dalam bidang-bidang Fiqih, Kalam/Teologi dan Akhlaq/Tasawuf memang berkembang dan menjadi rujukan sangat penting bagi masyarakat Islam di berbagai tempat/negara termasuk di Indonesia. Jadi, corak keberislaman masyarakat Islam ini memang Madzhabi.
Muhammadiyah telah memposisikan dirinya sebagai gerakan Tajdid yang secara terus menerus mengembangkan tafsir atau pemahaman terhadap sumber-sumber keislaman secara lebih rasional, liberatif dan menggerakkan/transformatif tidak terikat oleh satu Madzhab keislaman tertentu.
Karena itu dalam Istinbatul Hukum, misalnya, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih menggali dan merujuk kepada dua sumber penting yaitu sumber-sumber klasik lintas madzhab keislaman dan ilmu pengetahuan (science) modern selain tentunya Al-Qur’an.
Fiqih Kontemporer dengan demikian menjadi penting bagi Muhammadiyah: Kontemporer baik dalam arti meninjau secara kritis sekaligus menawarkan Ushul Fiqih alternatif maupun dalam arti produk Fiqih itu sendiri yang memang terkait dengan isu-isu kontemporer misalnya kloning, global warming atau Lingkungan, Gender,Anti Terorisme, anti korupsi dan lain sebagainya.
Dengan cara atau pendekatan seperti ini maka pembaharuan atau penyegaran paham keislaman sekaligus pencerahan (Tanwir) keberagamaan menjadi perhatian penting bagi Muhammadiyah.
Tajdid dan Tanwir menjadi dua kata kunci (key words) penting dalam kaitannya dengan pandangan keislaman sekaligus dengan upaya mengatur kehidupan dan peradaban masyarakat. Tidak berlebihan untuk berpendapat bahwa Muhammadiyah lebih mementingkan Islam esensial, substansial, liberatif dan transformatif ketimbang Islam festival dan komunal.
Muhammadiyah tidak akan menjadi gumpalan buih tapi benar-benar merupakan gerakan nyata dengan missi keislaman yang sangat jelas sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasul Muhammad.Kehadirannya nyata dengan membawa dan menganjurkan corak pemahaman atau pandangan keislaman yang terbebaskan dari pengaruh satu madzhab tertentu.
Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang dalam waktu-waktu belakangan ini sering diganggu atau dirusuhi oleh ideologi radikal kiri dan kanan, oleh persekongkolan kekuatan dalam dan luar negeri yang mengeruk kekayaan Indonesia.
Kekuatan- kekuatan ini juga yang secara sistemik menginjak martabat dan kedaulatan masyarakat, hukum dan negara dan yang telah dengan tangan dingin menciptakan ketidak adilan, kesengsaraan umum serta ketidak tentraman dan konflik horizontal. Realitas ini rentan bisa menjadi bubuk penyubur bagi gerakan-gerakan yang merongrong dan merusak NKRI dan falsafah bangsa kita, Pancasila.
Tidak sedikit kasus bukti, misalnya, kemiskinan menjadi faktor pendorong tindakan-tindakan kekerasan/kejahatan bahkan termasuk extra ordinary crime dengan mengeksploitasi kesucian agama.
Indonesia yang setelah dalam waktu sangat panjang diperjuangkan, dibela-bela menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat secara militer dan politik dan menyepakati Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah bangsa, haruslah dirawat dengan sepenuh hati. Perjuangan yang sangat panjang ini tentulah sangat mahal karena begitu banyak dan besarnya pengorbanan yang telah diberikan.
Adalah sebuah penghianatan yang nyata jika ada seseorang, sekelompok orang atau gerakan apapun namanya yang merongrong dengan cara apapun: mencuri, merampok, korupsi, membuat keresahan, menebarkan kesesatan atas nama kesucian, melalukan tindakan kekerasan atau teror di mana-mana. Adalah sebuah penghianatan bagi siapa saja yang tinggal, menikmati rezeki yang diberikan oleh Allah di bumi Indonesia, menjadi warga Indonesia akan tetapi justru tidak mau menerima atau bahkan menolak dan menentang Pancasila sebagai pandangan hidup.
Bumi Indonesia memang sejatinya adalah milik Allah sebagaimana manusia itu juga milik Allah. Allah adalah “Malik” pemilik dan penguasa hakiki apa saja yang ada di bumi. Justru itulah maka Allah memberikan amanah, menitipkan bumi ini kepada manusia sebagai “Khalifah”Nya untuk dibangun, dirawat, diatur, dimanej dengan sebaik-baiknya supaya bumi ini benar-benar dirasakan sebagaj “Berkah/Barokah” dan “Rahmat” .
Terbentuknya negara Indonesia yang merdeka ini adalah sebagian kecil saja dari Berkah dan Rahmat Allah; masih begitu luasnya Berkah dan Rahmat Allah yang masih perlu diperjuangkan dan diperoleh. Antara lain ialah keadilan, kedamaian atau Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Negeri yang disebut-sebut dalam al-Qur’an ini haruslah diterjemahkan secara kongkrit, perlu dibuat instrumen dan indeksnya secara nyata sehingga benar-benar measurable dan bisa diperjuangkan secara lebih nyata.
Negara dan pemerintah, bersama-sama semua elemen masyarakat berkewajiban membangun, merawat dan memajukan kehidupan ini. Negara/pemerintah harus meyakinkan adanya perlindungan/proteksi atas kedaulatan masyarakat, bangsa dan negara melalui sebuah sistim hukum yang kuat dan penegakan hukum yang adil. Semua harus menyatakan kesediaannya untuk tugas-tugas merawat, membangun dan memajukan bangsa.
Inilah yang, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah, disebutkan bahwa Indonesia adalah Darul Ahdi was Syahadah. Muhammadiyah tidak menggunakan atau memilih istilah/ konsep Darul Islam untuk penamaan Indonesia, apalagi Khilafah Islamiyah yang secara politik kuat berkonotasi menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Apa yang, misalnya, diperjuangkan oleh Kartosuwirjo menegakkan sebuah Negara Islam Indonesia bagi Muhammadiyah tidaklah realistik untuk berbagai alasan antara lain alasan historis, sosiologis, politik dan alasan doktrinal agama. Karena itu, ide tersebut mengalami kegagalan. Konsep Darul Ahdi was Syahadah yang diusung oleh Muhammadiyah hemat penulis secara politik menegaskan beberapa pandangan prinsipil : (1) negara Indonesia yang merdeka adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nasional yang diperjuangkan bersama dalam waktu yang panjang. Umat Islam menjadi bagian penting (2) Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa juga merupakan sebuah perjanjian atau kesepakatan nasional. (3) Agama, terutama Islam, tidak menjadi Dasar Negara RI akan tetapi harus menjiwai dalam menyelenggarakan, mengelola negara, pemerintah dan kehidupan berbangsa. (4) Karena itu Muhammadiyah tak pernah bercita-cita dan memperjuangkan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. (5) Negara sekular juga ditolak oleh Muhammadiyah (6)
Indonesia menganut sistim dan nilai-nilai demokrasi dengan tujuan menegakkan kemaslahatan bersama (7) Penegakan supremasi hukum secara adil merupakan langkah fundamental dalam rangka menjaga dan menegakkan martabat dan kedaulatan rakyat, bangsa dan negara.
Itulah yang menjadi pandangan dasar Muhammadiyah. Jelas, keberpihakan atau dedikasi kebangsaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah tidak bisa diragukan dalam rangka membangun apa yang disebut oleh Muhammadiyah sebagai Indonesia Yang berkemajuan. Pandangan keislaman yang dibangun dan dikembangkan oleh Muhammadiyah sangatlah kompatibel dengan falsafah/ideologi bangsa dan dengan keharusan untuk merawat dan membangun bangsa Indonesia ke depan.