YOGYAKARTA.suaramuhammdadiyah.id– Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa sejak awal tidak ada kodifikasi fiqh siyasah atau system politik Islam secara tunggal. Wilayah politik Islam berada dalam ranah ijtihad dan bersifat dinamis, mengikuti kemaslahatan dan perkembangan zaman. Hal ini dinyatakan dalam pidato pembukaan Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Gedung AR Fakhruddin B Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Kamis menjelang berbuka puasa, (9/6/2016).
Haedar menjelaskan tentang latar belakang perpolitikan di masa Nabi dan para khalifah empat; Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Di masa keempat sahabat utama yang menjadi khalifah setelah Nabi tidak memiliki system yang baku, meskipun dianggap mendekati masa ideal. Terbukti, sejak nabi wafat, tidak ada wahyu atau petunjuk langsung dari Rasulullah tentang pengganti Nabi dalam urusan perpolitikan. Rasulullah hanya memberi isyarat ke Abu Bakar untuk menggantikan sebagai imam shalat ketika nabi sakit. Umat Islam kemudian berijtihad mengangkat Abu Bakar. “Kalau kita lihat ke belakang, konsep politik Islam tidak terkodifikasi secara tunggal. Fiqh siyasah juga cenderung dinamis,” ungkap Haedar.
Praktek kenegaraan yang dilakukan oleh nabi di Madinah dipahami beragam, ada yang menganggapnya sebagai bentuk baku dan tunggal. Sehingga, praktek itu harus diikuti oleh umat Islam di masa setelah itu. Namun ada juga yang menganggap bahwa itu bukan bentuk kodifikasi, tapi hanya sebagai salah satu bentuk yang bisa jadi baik untuk diteruskan ataupun diganti dengan system lain di masa setelahnya. “Nabi dalam praktek membangun masyarakat Madinah al-Munawwarah dikonstruksi dalam pandangan umat Islam dalam banyak pandangan. Ada yang menyimpulkan bahwa pada masa nabi merupakan embrio bahkan bentuk kodifikasi dari Negara Islam,” urainya.
Haedar juga menyebut bahwa sebagai bukti bahwa wilayah kenegaraan murni wilayah ijtihad tercermin dari tidak ada ayat al-Quran yang menyebut kekhalifahan sebagai suatu system bernegara. Kata khalifah disebut dalam konteks makro, misalkan ketika Allah menyebut ayat penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dalam artian manusia diberi tanggung jawab mengurusi alam dan menjadi pelestari semesta. “Dari sini kita belajar bahwa lahirnya pemerintahan Islam adalah produk ijtihad dan itu tidak tunggal,” ungkap penulis buku Reproduksi Islam Syariat itu (Ribas).