YOGYAKARTA.suaramuhammdadiyah.id– Salah satu keputusan penting Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada 3-7 Agustus 2015 adalah tawaran konsep Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Pemikiran kolektif Muhammadiyah tentang Negara Pancasila ini bersifat mengikat dan menjadi keputusan resmi yang harus dipahami dan dijalankan oleh seluruh kader, anggota, dan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Hal ini disampaikan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Haedar Nashir MSi, dalam pidato pembukaan Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung AR Fakhruddin B, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Kamis sore, (9/6/2016).
Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah ikut serta mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui peranan tokoh-tokohnya. Peranan Muhammadiyah berlanjut setelah kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaan. Muhammadiyah terlibat dalam dinamika kemerdekaan, masa orde baru, hingga era reformasi. Sekedar berbangga dengan peranan di masa lalu bukan pilihan Muhammadiyah. “(Namun) kita perlu pengayaan. Dalam kehidupan kebangsaan, kita ini dinamis,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Haedar memaparkan tentang pemahaman terhadap konsep “dar al-ahdi wa al-syahadah”. Istilah dar al-ahdi sebagai istilah klasik diambil oleh Muhammadiyah, namun mengubah esensinya dengan format yang baru. “Kenapa kita pakai darul ahdi? Kita ambil istilah lama dan kita isi dengan hal-hal baru. (Karena) ini wilayah ilmu, dirasah, ijtihad, sehingga terbuka untuk direkonstruksi ulang. Tidak masalah,” ungkapnya.
Meskipun tidak ditemukan bentuk negara Pancasila dalam al-Quran, namum sampai saat ini juga belum ditemukan sistem pemerintahan yang lebih baik. Selain itu, sebagian dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai Qurani telah diaplikasikan dalam negara Pancasila. Muhammadiyah memandang Pancasila sebagai titik temu seluruh komponen bangsa. Ki Bagus Hadikusumo merupakan sosok yang dengan kebijaksanaannya merubah ketegangan tentang Piagam Jakarta menjadi suatu konsesus bersama. Ki Bagus mengubah tujuh kata dalam sila pertama menjadi Yang Maha Esa. “Piagama Jakarta sebagai takdir sejarah yang tidak perlu diratapi lagi, kalau diratapi hanya akan menghabiskan energi. Pancasila sebagai hasil kesepakatan kita. Bentuk negosiasi Islam dan kebangsaan,” urai Haedar.
Sebagaimana Muhammadiyah ikut membangun suatu konsensus nasional dan tempat bersaksi (dar al-ahdi), maka Muhammadiyah juga harus ikut mengisi dan berbuat (dar al-syahadah) untuk mencapai Negara yang dicita-citakan (dar al-salam). NKRI yang dibangun dengan komponen Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika dicita-citakan untuk mencapai baldatun tayyibatun warabbul ghafur. “Kalau sekedar menyebut Indonesia sebagai Negara yang final, maka selesai. Tapi konsep darul ahdi wa syahadah belum selesai,” katanya.
Di sisi lain, Muhammadiyah berada di posisi tengah, menjaga dan mengawal supaya negara tidak cenderung ke salah satu kutub ekstrim, baik konservatif yang menginginkan negara Islam, maupun negara liberal-sekuler. Haedar mengharapkan supaya segenap kekuatan Muhammadiyah membina kader dan kekuatan internal untuk pantas mengisi kebangsaan sebagai “dar al-ahdi wa al-syahadah” (Ribas).