Athaillah bercerita, malam sebelum hari peletakan batu pertama, datang segerombolan orang yang mengatasnamakan warga Juli Keude Dua melakukan protes ke Polsek Juli dan meminta acara tersebut dibatalkan. Jika tidak, akan ada perlawanan dari masyarakat. “Akhirnya demi kamtibmas kita tidak menyelenggarakan seremoni peletakan batu pertama, hanya menerima tamu biasa yang sudah terlanjur kita undang, termasuk dari donatur yang itu pun mendapat penjagaan ketat dari polisi,” katanya.
Proses selanjutnya ditempuh mediasi di kampung. Keadaan diperparah dengan adanya sekelompok orang bayaran untuk berdemo ke polsek. “Mereka pula yang memprovokasi masyarakat untuk menolak pembangunan masjid pada waktu rapat umum di kampung. Rapat kampung tidak bisa mengambil keputusan, hanya terjadi keributan antara yang pro dan kontra. Akhirnya rapat dibawa ke tingkat kecamatan,” urainya.
Sekelompok orang tersebut ditambah Keuchik (kepala desa) dari beberapa desa lain (yang kebanyakan tidak setuju dengan pembangunan masjid Muhammadiyah) ikut dimobilisasi dalam rapat tersebut, juga dari Dayah (pesantren) yang mewakili Majelis Permusyawaratan Ulama/MPU (MUI-nya Aceh) dan dari unsur Dinas Syariat Islam kecamatan (diwakili oleh yang kontra).
“Bisa dibayangkan mobilisasi yang dilakukan untuk menolak pembangunan masjid Muhammadiyah. Dan benar saja, dari MPU menjelaskan bahwa masjid Muhammadiyah adalah masjid kelompok yang tidak termasuk kelompok ahlus sunnah wal jamaah, bahkan menyamakan masjid Muhammadiyah dengan masjid dhirar dengan mengutip surat At Taubah 107, tanpa menjelaskan bahwa masjid itu dibangun oleh kelompok munafik, hanya dijelaskan bahwa masjid kelompok seperti itu memecah belah orang mukmin sehingga boleh dirusak, dibakar, dihancurkan. Tidak hanya berhenti disitu, disitir bahwa masjid Muhammadiyah kalau di bangun akan menimbulkan perpecahan di masyarakat dan kalo tetap dibangun dikhawatirkan akan timbul pertumpahan darah,” urai Athailah panjang lebar.