Kronologis Kerusuhan dan Larangan Pendirian Masjid Muhammadiyah di Bireuen

Kronologis Kerusuhan dan Larangan Pendirian Masjid Muhammadiyah di Bireuen

BIREUEN-Insiden kekerasan di Mushala Muhammad Kecamatan Juli dan munculnya selebaran surat tentang penolakan izin rekomendasi pembangunan Masjid at-Taqwa Muhammadiyah dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bireuen menjadi trending topic di media social. Isu yang berkembang ke publik menjadi simpang siur. Untuk menjernihkan pemberitaan, suaramuhammadiyah.com mencoba menklarifikasi langsung ke Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM)  Juli (Sekretaris PCM Juli Riski Dasilva MA), Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bireuen (Ketua PDM dr Athaillah A. Latief, SpOG).

Sekretaris PCM Juli Riski Dasilva menjelaskan bahwa insiden kekerasan terjadi di mushala (masjid kecil) Muhammad yang dibangun dan diwaqafkan oleh Yayasan Syeikh Eid bin Muhammad Al Thani Cabang Indonesia, pada tahun 2008. “Oleh yayasan tersebut menunjuk seorang pengelola Masjid yang bernama Saifuddin (63 Tahun) Warga Desa Juli Keude Dua melalui sebuah Surat Keputusan, yang didalamnya mencantumkan tugas-tugas diantaranya : a. Mengangkat Imam Shalat, b. Mengangkat Muazzin, c. Menghidupkan halaqah-halaqah Pengajian serta melaporkan setiap perkembangan masjid termasuk masalah renovasi masjid kepada Pihak Yayasan yang memberi bantuan,” ungkap Riski yang juga kepala SD IT Muhammadiyah Bireuen itu.

Seiring waktu, jamaah Masjid Muhammad yang didominasi oleh warga Muhammadiyah semakin membludak. Untuk bisa menampung keseluruhan jamaah, pihak PCM Juli merencanakan untuk mendirikan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah yang lebih besar, yang berjarak sekitar 30 meter dari Mushala Muhammad.

Hal senada dikuatkan oleh ketua Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bieruen dr Athaillah A. Latief SpOG. Saat dihubungi, Athaillah yang sedang melaksanakan ibadah umrah, menjelaskan bahwa Masjid At-Taqwa Muhammadiyah akan dibangun, berlokasi di atas tanah wakaf pemilik tanah dan wakaf tunai warga Muhammadiyah Juli Keude Dua, Bireuen.

Menurut Athailah, keinginan warga Muhammadiyah Juli untuk memiliki masjid sudah ada sejak dua tahun lalu, dan mulai terwujud sejak membebaskan tanah seluas 2500 meter persegi di kampung Juli Keude Dua. “Dimulai dengan membangun balai pengajian, dan akhirnya membangun masjid. Kita mendapatkan donatur yang siap membangun masjid ukuran 20×20 meter persegi, tempat wudhu, rumah imam, dua kelas untuk program tahfidzul quran, dengan dana 1 milyar, dan kalau berhasil dijanjikan akan ditambah dengan klinik,” ungkap Athaillah.

Oleh warga Muhammadiyah, pembangunan masjid At-Taqwa dianggap penting dan harus disegerakan. Targetnya, bulan Ramadhan tahun ini, jamaah sudah bisa memakai masjid yang lebih luas untuk melaksanakan ibadah lebih nyaman. Untuk mewujudkan target itu, seluruh warga Muhammadiyah sudah siap berinfaq, membantu fisik dan materi untuk membangun masjid sesuai rencana.

Dalam rangka mendapatkan legal standing dari negara, pihak PCM dan PDM telah mencoba mengurus segala keperluan administrasi sesuai aturan yang berlaku. “Proses perijinan untuk IMB sudah kita mulai sejak November 2015. Semua persyaratan pembangunan sudah kita penuhi termasuk dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan penyerahan fotokopi KTP dan tanda tangan mimimal 60 orang, kita kumpulkan 150 orang. Dukungan dari jamaah minimal 90 orang kita kumpulkan 150 orang. Rekomendasi untuk keluarnya IMB sudah kita dapatkan dari keuchik (lurah) kampung, dari camat, dan dari sekda kabupaten Bireuen untuk ijin tata ruang,” ujar Athaillah yang juga alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

“Rekomendasi mulai tersendat di kemenag Bireuen. Waktu terus berjalan, donatur menginginkan pembangunan bisa segera di mulai di bulan Januari untuk mengejar selesai di ramadhan tahun ini,” lanjutnya.

Tersendatnya IMB di Kemenag menimbulkan kekecewaan di benak warga Muhammadiyah. Padahal waktu untuk mencapai target Ramadhan semakin dekat. Akhirnya sambil mengurusi administrasi, pembangunan masjid mulai dicicil dengan kerja gotong royong segenap warga Muhammadiyah. “Awal timbul masalah adalah ketika akan dilakukan acara peletakan batu pertama pembangunan masjid,” ujarnya.

Athaillah bercerita, malam sebelum hari peletakan batu pertama, datang segerombolan orang yang mengatasnamakan warga Juli Keude Dua melakukan protes ke Polsek Juli dan meminta acara tersebut dibatalkan. Jika tidak, akan ada perlawanan dari masyarakat. “Akhirnya demi kamtibmas kita tidak menyelenggarakan seremoni peletakan batu pertama, hanya menerima tamu biasa yang sudah terlanjur kita undang, termasuk dari donatur yang itu pun mendapat penjagaan ketat dari polisi,” katanya.

Proses selanjutnya ditempuh mediasi di kampung. Keadaan diperparah dengan adanya sekelompok orang bayaran untuk berdemo ke polsek. “Mereka pula yang memprovokasi masyarakat untuk menolak pembangunan masjid pada waktu rapat umum di kampung. Rapat kampung tidak bisa mengambil keputusan, hanya terjadi keributan antara yang pro dan kontra. Akhirnya rapat dibawa ke tingkat kecamatan,” urainya.

Sekelompok orang tersebut ditambah Keuchik (kepala desa) dari beberapa desa lain (yang kebanyakan tidak setuju dengan pembangunan masjid Muhammadiyah) ikut dimobilisasi dalam rapat tersebut, juga dari Dayah (pesantren) yang mewakili Majelis Permusyawaratan Ulama/MPU (MUI-nya Aceh) dan dari unsur Dinas Syariat Islam kecamatan (diwakili oleh yang kontra).

“Bisa dibayangkan mobilisasi yang dilakukan untuk menolak pembangunan masjid Muhammadiyah. Dan benar saja, dari MPU menjelaskan bahwa masjid Muhammadiyah adalah masjid kelompok yang tidak termasuk kelompok ahlus sunnah wal jamaah, bahkan menyamakan masjid Muhammadiyah dengan masjid dhirar dengan mengutip surat At Taubah 107, tanpa menjelaskan bahwa masjid itu dibangun oleh kelompok munafik, hanya dijelaskan bahwa masjid kelompok seperti itu memecah belah orang mukmin sehingga boleh dirusak, dibakar, dihancurkan. Tidak hanya berhenti disitu, disitir bahwa masjid Muhammadiyah kalau di bangun akan menimbulkan perpecahan di masyarakat dan kalo tetap dibangun dikhawatirkan akan timbul pertumpahan darah,” urai Athailah panjang lebar.

Hasil pertemuan itu dikirim ke Kemenag Bireuen. Di sisi lain, kasat intel polres Bireuen juga membuat laporan yang sebenarnya bersifat intern tentang kejadian keributan yang terjadi di polsek Juli dan di kampung Juli keude dua dan merekomendasikan kepada panitia pembangunan masjid untuk menunda pembangunan hingga ditempuh langkah mediasi. Surat ini (yang mestinya interen) juga dikirim ke Kantor Kemenag Bireuen.

Atas dasar dua surat inilah (hasil musyawarah dari kecamatan dan dari polres Bireuen), Kemenag Bireuen menolak memberikan rekomendasi pendirian masjid Muhammadiyah di Juli. “Kita sudah klarifikasi ke Polres Bireuen tentang surat dari kasat intel yang dijadikan dasar penolakan oleh kepala kemenag Bireuen. Kapolres Bireuen juga kaget tidak mengetahui tentang surat itu, dan langsung di depan kami menelpon kepala Kemenang untuk mengklarifikasi dasar surat dari Kemenag. Kepala kemenag Bireuen akhirnya memanggil panitia, PCM Juli dan PDM Bireuen untuk mediasi. Tapi mediasi ini juga tidak berujung karena penolakan dari sekelompok orang dengan ancaman pertumpahan darah,” tuturnya.

Sehari menjelang masuknya bulan suci Ramadhan, Riski Dasilva menyatakan, pada Minggu, (5/6/2016) pukul 18:30 WIB terjadi penyerangan terhadap Masjid Muhammad di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen oleh sekelompok orang.

“Beberapa hari sebelum penyerangan, pihak penyerang terlebih dahulu memberikan maklumat kepada Pengurus Masjid untuk menghentikan (menutup total) segala bentuk kegiatan/aktivitas keagamaan yang selama ini dilaksanakan di Masjid Muhammad di Desa Juli Keude Dua Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Dalam maklumat tersebut juga ada ancaman sanksi apabila maklumat yang dibuat tersebut tidak dilaksanakan,” urai alumni Pascasarjana UIN Ar-Raniry Aceh itu.

Pada saat terjadi penyerangan, beberapa orang pihak penyerang masuk ke dalam masjid dan beberapa orang lagi berdiri di luar masjid. Selain itu disekitar dan di dalam masjid juga ada jamaah tetap Masjid Muhammad tersebut. Pihak penyerang mencoba mengambil alih pelaksanaan prosesi salat magrib yang biasa dilakukan oleh takmir yang sudah ditunjuk. Takmir mencoba melarang dan akhirnya terjadilah percekcokan, hingga menyebabkan korban di pihak takmir Masjid Muhammad. Korban yang terluka (Saifuddin, Hilman Saifuddin dan Muhammad Haris) segera dilarikan ke RSUD Dr. Fauziah Bireuen untuk diambhil tindakan medis (Ribas).

Exit mobile version