SLEMAN-Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa Ramadhan tahun ini, pada hari Senin, (6/6). Ketetapan tersebut didasarkan kepada Hisab. “Sedangkan menurut bahasa, Hisab berarti perhitungan,” kata Oman Fahurrahman, SW, MAg, dalam Kajian Kamis Malam (KALAM) di gedung Muhammadiyah Kabupaten Sleman, Yogyakara. Acara ini terselenggara, berkat kerjasama Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan juga Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Kabupaten Sleman.
Metodologi Hisab yang ada di kalangan Muslim, terbagi menjadi dua. Yakni Hisab ‘urfi, dan Hisab hakiki. “Hisab ‘urfi itu menurut kebiasaan, bulan Ramadhan selalu berusia 30 hari. Sementara hisab hakiki, menyesuaikan dengan gerak posisi bulan di langit,” ujar Oman yang juga aktif di Majelis Tarjih dan Tajdid ini. Contoh hisab ‘urfi ada pada kalender milik Kraton Jogja. Sedangkan Hisab hakiki, digunakan dalam kalender Muhammadiyah. Lalu bagaimana dengan hadits Nabi yang memerintahkan untuk menggunakan rukyat? Menurut Oman, penggunaan rukyat di zaman nabi, dikarenakan rukyat adalah satu-satunya cara untuk menentukan awal bulan. “Sehingga untuk saat ini, rukyat tidaklah relevan lagi,” ujarnya.
Oleh karena itu, berpindah cara menentukan awal Ramadhan dari rukyat ke hisab, bukanlah hal yang menyimpang. “Mengingat rukyat adalah sarana, sedangkan yang menjadi ibadah mahdah adalah puasanya,” imbuh Oman. Sementara jika dipandang dari segi ushul fiqih, penggunaan hisab memenuhi kaidah ushul fiqih. Bahwa hukum bisa berubah karena perkembangan waktu dan keadaan. “Melihat perkembangan saat ini, adanya Hisab, mampu menjawab kebutuhan zaman, karena mampu menentukan awal bulan sejak jauh-jauh hari. Bisa juga untuk melihat jauh ke depan, atau melacak sejarah di masa silam. Karena dengan hisab hakiki itulah, awal ibadah sama dengan awal bulan dalam kalender,” jelasnya. (GR)