Yudi Latif: Pancasila Bagaikan Shalat

Yudi Latif: Pancasila Bagaikan Shalat

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Cendekiawan Yudi Latif dalam salah satu sesi Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sabtu (11/6/2016), menyatakan bahwa keberadaan sila-sila dalam Pancasila dapat diibaratkan dengan pelaksanaan ibadah shalat. Dalam ritual shalat, dimulai dengan takbiratul ihram yang merupakan wujud penghambaan diri di hadapan Tuhan. Shalat diakhiri dengan salam ke kiri dan ke kanan yang mengisyaratkan perilaku sosial.

Bagi lulusan The Australian National University ini, sila dalam Pancasila dimulai dengan pengagungan Tuhan dalam bentuk sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’ Lalu sila-sila selanjutnya secara runtut diakhiri dengan sila ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.’ Artinya, sila-sila dalam Pancasila akan bermanfaat dan hidup jika diaplikasikan dengan sila yang kongkret, yaitu sila keempat dan kelima. “(Demikian halnya) shalat menemukan perwujudannya yang kongkret jika membawa kemaslahatan,” ungkapnya dalam sesi ‘Transformasi Nilai Kerakyatan dan Keadilan Sosial dalamm Bernegara.’

Dalam kesempatan itu, Yudi menyoroti tentang sila keempat dan kelima Pancasila sebagai sila yang paling kongkret dan sekaligus paling sering dikhianati. Sila-sila dalam Pancasila seharusnya menuntut hak semua orang untuk diikutsertakan dalam bidang demokrasi dan ekonomi. Namun, sila keempat yang berdimensi politik dan sila kelima yang berdimensi ekonomi berjalan sangat ekslusif. “Politik semakin ekslusif, dikuasai oleh kalangan berduit. Meskipun setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih, tapi faktanya untuk menjadi calon gubernur harus memiliki minimal 100 Milyar,” ujar Yudi.

“Jangan sampai rakyat diperuntukkan untuk demokrasi. Tetapi demokrasi diperuntukkan untuk rakyat,” tutur Yudi. Menurutnya, sila keempat diapit oleh sila ketiga dan kelima memiliki maksud bahwa syarat demokrasi yang baik itu ada dua, yaitu terletak di sila ‘Persatuan Indonesia’ dan sila ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.’ Demokrasi yang baik harus memperkuat persatuan nasional dan mengarah pada keadilan sosial. “Kalau dua hal itu tidak terpenuhi, maka demokrasi kita tidak berjalan dengan baik,” imbuhnya.

Demikian halnya sila kelima yang mengatur tentang asas ekonomi, saat ini berjalan sangat ekslusif. Distribusi ekonomi tidak berjalan dengan baik. System ekonomi liberal telah menyebabkan kesenjangan yang sangat lebar. Yudi menunjukkan angka gini rasio. Selain pada penguasaan aset kekayaan dan produksi, disparitas juga terjadi dalam kepemilikan lahan. Menurut data yang dimiliki, Yudi menyatakan bahwa satu persen orang menguasai 56 persen lahan di Indonesia atau setara dengan satu orang menguasai 5 juta hektar. Yudi mengingatkan bahwa dalam khazanah Islam, tirani dihadapkan dengan al-adl (keadilan), bukan dengan kebebasan atau ekonomi liberal yang justru memperlebar kesenjangan.

Di bagian lain, Yudi Latif mengutip pernyataan Cokroaminoto pada tahun 1930an yang mengatakan, “Kalau kita ingin menjadi muslim yang baik, maka kita harus sungguh-sungguh menjadi demokrat dan sosialis yang baik.” Menurutnya, paham sosialis dan demokrat sebenarnya sudah dipahami dengan baik oleh tokoh-tokoh muslim di masa lalu, namun kemudian disalahpahami di kemudian hari. (Ribas)

Exit mobile version