Yang keenam adalah berkaitan dengan isu gerakan komunisme di Indonesia dan potensi terjadinya konflik horisontal.
Mencermati perkembangan situasi di masyarakat luas, baik yang ada di media sosial maupun secara fisik di lapangan, Partai Demokrat cemas jika isu ini menjadi “bola liar” yang berujung pada terjadinya konflik bahkan benturan fisik secara horisontal. Oleh karena itu, disamping Partai Demokrat berharap agar pihak-pihak yang kini saling berhadapan bisa menahan diri, pemerintah tidak boleh pada posisi yang membiarkan. Sikap Kepala Negara dan Pemerintah harus jelas, jangan menimbulkan kebingungan, spekulasi dan bahkan persepsi yang keliru.
Di Indonesia, juga di dunia, konflik yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, agama dan etnis, bisa berubah menjadi malapetaka yang dahsyat. Sebenanya, kita telah melampaui babak-babak kritis seperti itu di masa lampau. Janganlah karena kelalaian kita, ketidakmatangan di dalam mengambil sebuah inisiatif sekaligus kecerobohan dalam pengelolaan ketika ketegangan dan konflik ini makin membesar, akhirnya terjadi lagi konflik berdarah yang sungguh tidak kita inginkan.
Saya ingin menyampaikan, dalam kapasitas saya sebagai mantan Presiden, bahwa di era pemerintahan yang saya pimpin juga ada prakarsa untuk menyelesaikan permasalahan masa lalu yang masih tersisa, termasuk peristiwa tahun 1965. Setelah bekerja selama 4 tahun, tanpa menimbulkan kehebohan ditingkat masyarakat, saya mengambil keputusan bahwa bangsa ini belum siap benar untuk menyelesaikan masa lalunya dengan baik. Yang namanya “rekonsiliasi dan kebenaran” jika itu dipilih sebagai model, tetap diperlukan kerangka, konsep dan desain yang sama-sama disepakati oleh semua pihak yang pernah terlibat dalam permusuhan. Saya nilai kesepakatan itu belum terwujud. Jadi kita belum siap. Kalau dipaksakan justru berbahaya. Perlu dibangun dan didapatkan kesepatan fundamental itu.
Yang berubah dari semangat rekonsiliasi dan “settlement” masa lalu ~ dulu dan yang sekarang adalah ~ isunya digeser. Dari konsep rekonsiliasi menjadi negara harus meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia. Dibangun opini bahwa TNI & Rakyat yang anti PKI-lah yang bersalah, dan PKI tidak salah. Disinilah permasalahannya. Perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Presiden Soekarno yang sah dengan segala tindakan kekerasan yang menyertainya itu benar-benar ada. Keterlibatan PKI dan unsur lain itu juga nyata. Jadi bukan fiksi. Bahkan jika kudeta itu berhasil, maka gerakan pembersihan dari Dewan-Dewan Revolusi Daerah terhadap mereka yang anti PKI juga akan dilakukan di seluruh tanah air. Karena kudeta gagal, maka yang memegang inisiatif adalah yang anti PKI. Dalam aksi komunal yang sifatnya horisontal sangat bisa terjadi ekses dan tindakan yang melebihi kepatutannya. Itulah yang terjadi. Ada hubungan sebab dan akibatnya. Oleh karena itu jika ingin dicarikan penyelesaian, format dan konsepnya harus benar. Dan yang penting semua pihak siap. Pemerintah tidak boleh gegabah untuk memaksakan sesuatu yang pemerintah sendiri belum siap.
Bangsa ini harus berhati-hati dan jangan gegabah dalam bertindak. Yang penting anak keturunan mereka yang terlibat dalam perlawanan terhadap negara tidaklah boleh divonis sebagai ikut bersalah, dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Sebenarnya, sekarang pun mereka sudah memiliki hak politik, ekonomi yang sama dengan yang lain. Sebelum menemukan model dan solusi yang tepat, ini saja yang harus dijaga dan dipertahankan.