YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id– Persyarikatan Muhammadiyah sejak sebelum Indonesia merdeka telah memainkan peran sosial politik yang sangat strategis. Di masa kolonial, Muhammadiyah berperan dalam upaya membangkitkan kesadaran dan kebangkitan nasional. Demikian halnya di masa-masa berikutnya hingga masa reformasi sekarang ini. Kedepan, Muhammadiyah masih bisa terus memainkan peranannya di bidang sosial politik, tanpa harus terlibat dalam politik praktis.
(Baca juga; Haedar Nashir: Sistem Politik Islam itu Ranah Ijtihad)
“Kita bukan organisasi politik, tetapi bisa memainkan peran politik secara kritis dan anggun,” tutur Dr Phil Ahmad Norma Permata, pengamat politik UIN Sunan Kalijaga dalam acara pengajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (17/6). Pengajian yang berlangsung di Auditorium kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini mengusung tema “Masa Depan Muhammadiyah: Penguatan Peran Sosial-Politik dan Kemandirian Ekonomi”.
Menurut Norma, hingga hari ini Muhammadiyah memiliki nilai plus di mata penguasa. Sikap idealisme yang dibangun dengan independensi dan kemandirian, menjadikan Muhammadiyah tetap diperhitungkan. Bahkan jika saja seluruh amal usaha Muhammadiyah melakukan mogok selama satu minggu saja, akan terjadi chaos (kekacauan). Oleh karena itu, untuk menjadi kekuatan politik harus dibangun dengan landasan kemandirian.
“Politik itu menghanyutkan. Peran sosial politik harus dibarengi dengan kemandirian. Ketika kita mandiri, kita bisa lebih kritis, tidak bisa didikte oleh pemerintah dan bisa menjaga jarak dengan pemerintah,” ujarnya.
(Baca juga; Kang Emil: Politik Jemput Bola Bukan Jaga Warung)
Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah mengharapkan Muhammadiyah bisa memberikan kemandirian peradaban yang tuntas. Artinya Muhammadiyah harus bisa melayani dan berperan secara strategis dalam semua bidang kehidupan. Norma mencontohkan gereja Katolik di Belanda, yang mampu melayani semua kebutuhan warganya tanpa bergantung pada yang lain, mulai dari kelahiran, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, belanja, hiburan, hingga kematian.
Ketika mampu memberikan kemandirian yang tuntas, maka Muhammadiyah akan menjadi kekuatan yang disegani. Bahkan keputusan-keputusan internal organisasi akan selalu ditunggu-tunggu oleh negara. Norma menyebut pidato Paus Benediktus setiap setahun sekali, selalu dinanti oleh seluruh dunia karena akan sangat menentukan. Peran ini menurutnya sama dengan peran ulama. Seorang ulama bukan penguasa yang memiliki alat dan bukan pula rakyat yang tak punya apa-apa. Ulama itu memiliki wewenang membuat hukum dan bahkan hukum untuk sang penguasa, tetapi ulama tidak memiliki tentara.
(Baca juga; Abdul Mu’ti: Dalam Hal Politik Muhammadiyah itu Hebat tetapi Selalu Nggak Dapat)
Selain itu, Norma mengkritik penyelenggaraan politik di Indonesia yang masih berorientasi personal dan jabatan, bukan institusi. Menurutnya, birokrasi kesetiaan pada atasan dan bukan pada institusi ini merupakan warisan Kerajaan Majapahit. Seolah-olah raja itu segalanya yang mampu merubah semuanya. Padahal, yang lebih penting dari itu adalah mengawal penguasa setelah ia terpilih. Dalam kenyataan selama ini selalu meributkan siapa yang akan menjadi pemimpin, lalu setelah pemilu selesai, maka kekritisan pun selesai. “Konsep kita tentang politik masih jabatan. Politik tidak sesederhana jabatan,” ungkap Norma (Ribas).