Oleh: David Efendi (Wakil Ketua LHKP PW Muhammadiyah DIY)
SUARAMUHAMMADIYAH.ID–Muhammadiyah diakui Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai salah satu dari empat Pilar Keistimewaan DI Yogyakarta, namun secara konsepsional dalam berbagai naskah Keistimewaan, nomenklatur Muhammadiyah sering dilupakan. Entah siapa yang harus bertanggungjawab, dalam berbagai naskah akademik UUKY dan raperdais tidak muncul peran kesejarahan Muhammadiyah. Problem yang mengikutinya adalah, seringkali struktur Muhammadiyah radijak rembugan. Hal ini juga bisa dimaklumi lantaran bagi warga Muhammadiyah tidak terlalu gagap melihat praktik Keistimewaan yang centang perenang itu.
Dibandingkan Pilar Keistimewaan lainnya yaitu Kraton, Taman Siswa, dan UGM, Muhammadiyah paling minor keterlibatannya dalam proses pengambilan kebijakan di daerah. Bahkan, terlibatnya kelompok yang bukan dari empat Pilar cenderung lebih agresif merapat ke Istana untuk mendapatkan pundi-pundi Keistimewaan. Sebagai mana kita ketahui, ada ratusan miliar dana tiap tahun yang bisa diakses dengan membangun kedekatan spesial dengan pihak “kuasa pengguna anggaran” atau KPA.
Di dalam praktiknya juga menyeruak “perang” ideologi untuk memperoleh porsi kedekatan dengan istana. Kelompok Islam tidak satu suara, dan juga kelompok Katolik juga bisa jadi terfragmentasi namun cukup jelas ada konstestasi antara Islam vs Kasebul. Titik temu lainnya adalah kelompok DPD RI yang membingkai kelompok Islam dengan spektrum ideologi yang berbeda namun secara legitimasi politik semua anggota DPD RI dari jogja ada di bawah “kekuasaan” Ratu Hemas. Termasuk DPD wakil Muhammadiyah, sangat terlihat tidak leluasa membela kepentingan daerah jika tak dikehendaki ratu.
Bagaimana menjelaskan sikap cuek persyarikatan Muhammadiyah terkait pelaksanaan Keistimewaan yang sudah memasuki tahun keempat (2013-2016)? Satu hal yang perlu dicatat, yang jelas memberikan peran sejarah DI Yogyakarta terutama dalam bidang pendidikan Rakyat, pelayanan sosial dan denyut nadi nafas perekonomian di Yogyakarta terutama dari 3K: kauman, karangkajen, dan kotagede. Peran ekonomi beserta pembaharuan pemikiran islamlah yang menjadi legasi paling penting–bagaimana Islam dapat berdampingan dengan tradisi tetapi punya etos berkemajuan. Jika HB X mempunyai gagasan 9 jalan Renaissance jogja, sesungguhnya sebagian besar ide itu telah dilakukan oleh KHA Dahlan yang diteruskan oleh Muhammadiyah sampai hari ini. Dari tangan-tangan dingin warga Muhammadiyah, di Kota jogja bermunculan aktifitas ekonomi perdagangan modern (swalayan modern), juga melahirkan kelas saudagar atau borjuasi santri dengan etos kedermawanan sosial.