Perilaku Muhammadiyah yang menjaga jarak dengan proyek Keistimewaan dapat dijelaskan demikian, pertama, watak otonom yang menjadi etos kerja Muhamadiyah membenarkan sikap tidak meminta-minta proyek negara untuk menopang kebutuhan organisasi. Sikap menjaga independensi ini menjadi penanda posisinya sebagai kekuatan civil society sejati. Karakter ini pernah disinggung oleh peneliti dari Korea Selatan, prof Kim Jung-Hun.
Muhammadiyah jika dikategorikan bukan bagian dari keistimewaan, maka menolak atau mendukung status keistimewaan lebih punya pijakan memperkerjakan indikator keadilan dan kemanusiaan, bukan pada aspek kesejarahan seperti Muhammadiyah lahir di Yogyakarta dan Kyai Dahlan keluarga abdi dalem. Ini juga merupakan watak egaliterian yang subur di dalam tindakan warga Muhammadiyah kebanyakan.
Kedua, karena karakter kelas menengah yang direpresentasikan, Muhammadiyah adalah entitas yang sangat percaya pada mekanisme Demokrasi (Klinken, 2015) maka bisa saja penyebabnya adalah minimnya pelibatan pemerintah DIY dalam desain pelaksanaan Keistimewaan. Bisa dimengerti, dalam bidang politik kenegaraan Muhammadiyah lebih sering berperilaku hati-hati apalagi berinteraksi dengan beragam kelompok kepentingan (interest group).