YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Pemimpin itu ibarat kepala. Apabila kepala baik, maka seluruh organ hampir dapat dipastikan akan menjadi baik pula. Demikian sebaliknya. Antara pemimpin dan kepala memiliki banyak kesamaan. Di dalam kepala bersarang otak yang berfungsi sebagai penggerak segala aktivitas tubuh. Pemimpin mempunyai tugas pokok untuk menunjukkan jalan, membimbing, mengarahkan, dan mengatur secara menyeluruh. Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ahad sore (19/6).
Menurut Haedar, meskipun dalam hadis nabi dikatakan bahwa kullukum ra’in (setiap orang adalah pemimpin), namun dalam artian memimpin yang sesungguhnya, tidak semua orang mampu menjadi pemimpin. Hadis itu lebih pada menunjukkan arti pentingya sikap mas’uliyah (pertanggungjawaban) yang dituntut pada setiap orang. “Dalam setiap proses, tidak semua menjadi pemimpin,” ungkap Haedar di Auditorium Kampus 1, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Haedar menilai banyak pemimpin yang kehilangan fungsinya untuk menjadi kepala. “Pemimpin sekedar simbol dan kedudukan resmi, tetapi kehilangan fungsi kepemimpinannya secara fungsional. Pemimpin yang demikian, wujudu-hu ka ‘adami-hi, adanya seperti tiada. Maka banyak peristiwa dan masalah yang seharusnyanya dihadapi dan diselesaikan, pemimpin tidak hadir,” ulasnya ketika membawakan makalah berjudul Kepemimpinan Pembawa Perubahan.
Saat ini, menurut Haedar, umat membutuhkan kepemimpinan yang transformasional. Yaitu kepemimpinan yang bertindak secara secara nyata, tersistem, dan melahirkan perubahan-perubahan ke arah kemajuan. Haedar menjelaskan bahwa kepemimpinan transformatif yang mampu membawa perubahan itu memiliki tiga ciri utama. Pertama, pemimpin yang punya kemampuan memobilisasi potensi. Hal ini tercermin dari perjalanan Kyai Dahlan dalam menggerakkan Muhammadiyah dari nol hingga menjadi seperti sekarang. Pendiri Muhammadiyah itu mampu memanfaatkan semua potensi yang mungkin tidak dilihat oleh orang lain, misalkan dengan mengumpulkan para pemuda-pemuda Kauman yang belum tercerahkan dan kemudian di bawah binaan Kyai Dahlan, para pemuda itu kelak menjadi kader militan dalam menggerakkan Muhammadiyah. “Kyai Dahlan tidak pernah diam,” ujarnya.
Kedua, pemimpin yang bisa mengagendakan perubahan. Bagi Haedar, perubahan tidak bisa muncul dengan tiba-tiba, tetapi harus direncanakan secara matang. “Perubahan itu diagendakan mau seperti apa. Dinamika itu harus diciptakan oleh pemimpin. Orang tidak bisa terus dalam kondisi nyaman,” tambahnya. Ketiga, pemimpin yang memproyeksikan masa depan. Artinya, pemimpin itu harus berorientasi pada kemajuan di masa depan, untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Tanpa orientasi pada masa depan, organisasi yang dipimpin tidak akan bertahan lama. “Kita boleh bicara yang besar-besar, tetapi harus punya strategi,” ulas Haedar.
Di bagian lain, Haedar mengingatkan bahwa dalam Muhammadiyah, pemimpin harus bisa mengintegrasikan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Sesuai dengan tawaran al-Mawardi, bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan siyasat al-dunya (mengurus urusan dunia atau organisasi) serta hirasat al-din (menegakkan dan mempraktekkan nilai-nilai agama). “Intinya kepemimpinan yang kita serap adalah gabungan antara nilai langit dan nilai bumi,” pungkas Haedar Nashir (Ribas).