Ketua PP Muhammadiyah: Gerakan Intelektual di Muhammadiyah Tak Boleh Mati

Ketua PP Muhammadiyah: Gerakan Intelektual di Muhammadiyah Tak Boleh Mati

MALANG, suaramuhammadiyah.id,- Ketua Pimpinan Pusat (PP)  Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendi MAP memyatakan bahwa gerakan intelektual di Muhammadiyah tak boleh mati. Jika gerakan intelektual mati, menurut wakil ketua Badan Pembina Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini, apa yang dibanggakan Muhammadiyah.

Hal ini ia sampaikan sehubungan diselenggarakannya Tadarus Pemikiran Islam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang berlangsung di UMM 29 – 30 Juni ini. Muhajir berharap, pertemuan para pemikir Muhammadiyah ini bisa menghadirkan pencerahan bagi ruh gerakan Muhammadiyah di masa kini dan mendatang.

“Kelompok intelektual di dalam Muhammadiyah tidak boleh mati. Kalau gerakan intelektual ini mati, apa yang akan dibanggakan oleh Muhammadiyah? Acara seperti ini harus terus dijalankan,” tutur Ketua PP Muhammadiyah ini.

Baca :Sambut Ramadhan, UMM Gelar Kajian Islam Berkemajuan

JIMM  bersama UMM terus menjaga ruh keilmuan di tubuh Muhammadiyah, khususnya di kalangan mudanya. Hal itu di antaranya tergambar dalam tradisi tadarus pemikiran Islam bagi para cendekiawan muda Muhammadiyah se-Indonesia yang intens digelar di UMM.

Sebagaimana tradisi tahun-tahun sebelumnya, Tadarus Pemikiran Islam JIMM kali ini kembali diadakan pada bulan Ramadhan, yaitu pada Rabu-Kamis (29-30/6), di Auditorium UMM. Menurut koordinator nasional JIMM Dr Pradana Boy ZTF MA(AS), kegiatan ini amat penting untuk mendialogkan teks-teks al-Quran agar bisa menjadimenjadi instrumen perubahan sosial.

Spirit kegiatan ini juga tak lepas dari semangat awal pendirian Muhammadiyah sebagai gerakan sosial yangmemihak kelompok terpinggirkan. Namun dalam perjalanannya, kata Pradana, Muhammadiyah perlu membaca ulang arah geraknya untuk mempertajam cita-cita sosial tersebut. “Sebagai organisasi Islam yang peduli perubahan sosial, maka refleksi kritis terhadap realitas sosial perlu dipertimbangkan serta dicarikan solusinya sebagai pendekatan baru dalam metode tafsir Muhammadiyah,” papar kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM ini.

Juarai KRI, UMM Siap Ikuti Kontes Robot Dunia di AS

Tadarus akan dihadiri lebih dari seratus pemikir dan tokoh muda Muhammadiyah se-Indonesia. Mereka akan memperbincangkan isu-isu pemihakan sosial, seperti kemiskinan, kesenjangan pendidikan, kesehatan, sertapolitik yang bervisi kemanusiaan. Tadarus juga menampilkan presentasi riset-riset mutakhir tentang Muhammadiyah dan Islam Indonesia. “Selain itu, juga akan ada sesi khusus terkait strategi dan aksi JIMM pada dasawarsa kedua,” jelas dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMM ini.

Tradisi tadarus kerjasama UMM dan JIMM telah berlangsung sejak 13 tahun yang lalu. Ketika diadakan pertama kali pada 2003, para pemikir yang terjaring kala itu relatif masih sangat muda karena sebagian besar baru lulus sarjana atau fresh graduate. “Menariknya, saat ini, banyak di antara para pemikir muda tersebut telah meraih gelar doktor dari berbagai kampus ternama di luar negeri,” kata Pradana yang juga merupakan doktor lulusan National University of Singapore (NUS) ini.

Dalam konteks yang lebih luas, kata Pradana, ketika berbicara tentang Muhammadiyah secara global, banyakorang selalu menganggap Muhammadiyah itu wahabi. “Kalau ada gerakan terorisme di mana-mana, orang selalu menghubungkannya dengan Muhammadiyah. Karena katanya Muhammadiyah itu wahabi.”

Di tengah situasi itu, lanjut Pradana, terjadi perang ideologi yang mengharuskan Muhammadiyah perlu lebih menata diri serta melakukan pembacaan untuk saat ini dan masa depan. Bagi Pradana, untuk merespon hal tersebut secara arif dan tepat diperlukan gerakan intelektual yang memiliki kepekaan membaca situasi nasional dan global.

Baca Juga: KKN UMM Fokus Pengembangan IT dan Pengentasan Buta Aksara

Karena itulah, bagi Pradana, di antara masifnya Muhammadiyah bergerak dalam aspek amal, Muhammadiyahjangan sampai melupakan aspek intelektual lantaran amal juga dinilainya sebagai proses kerja intelektual melalui sebuah refleksi. “Betul bahwa Kiai Dahlan (pendiri Muhammadiyah) disebut sebagai man of action, tapi mana mungkin aksi itu dilakukan tanpa refleksi. Selain harmonisasi fikir dan zikir, menurut saya perlu juga harmoni antara amal dan intelektual,” ungkapnya (le/ Humas UMM)

Exit mobile version