Entah karena apa, lima sampai delapan tahun terakhir ini banyak yang mempermasalahkan “fiqih Muhammadiyah” yang katanya “menyelisihi” kitab fiqih karya Kiai Dahlan.
Baca: Fiqih Ahmad Dahlan Dan Tarjih
Bagi orang Muhammadiyah yang biasa berpikir a-la Muhammadiyah pasti tidak akan risau dengan gugatan seperti itu. Karena Kiai Dahlan sendiri memang tidak menghendaki semua produk pemikirannya dirujuk secara total. Sebagaimana umat Islam meperlakukan Nabi Muhammad.
Baca: KHA Dahlan Memilih Langkah Evolusi
Kalau kita membaca Himpunan Putusan Tarjih (HPT) jelas terlihat jejak-jejak perubahan fiqih Muhammadiyah. Misalnya Qunut subuh dulu dipakai kemudian direvisi demikian juga dengan ru’yah untuk menentukan awal bulan hijriyah. Perubahan itu disikapi biasa-biasa saja. Memang dalam munas tarjih sering diwarnai perdebatan yang a lot namun setelah cukup beradu argument sampai ada kesepakatan dan kesepahaman. Masalah yang diperdebatkan itu selesai juga.
Baca: Keputusan Tarjih Harus Relevan dengan Persoalan Mutakhir
Namun, bagi orang non-Muhammadiyah apalagi yang terbiasa dengan cara pikir “Gurulku adalah rujukan finalku” perubahan-perubahan fiqih seperti yang berlaku di Muhammadiyah itu dianggap aneh bahkan bisa dianggap sebagai bentuk pendurhakaan pada ajaran guru.
Baca: Memahami Pemikiran dan Langkah Ahmad Dahlan Baca juga: Dialog Prof Dr H Syamsul Anwar MA: Fiqih Muhammadiyah Seperti Fiqih Pada Umumnya
Pada tahun 2014 Majalah Suara Muhammadiyah edisi 1-15 maret (nomor 05) telah mengulas masalah tersebut. Di edisi tersebut juga banyak artikel yang terkait dengan hal itu. Oleh karena itu bagi warga Muhammadiyah sebenarnya tidak perlu gumun apalagi kaget apabila ada yang mengatakan Fiqih Kiai Dahlan itu berbeda dengan Fiqih Muhammadiyah yang sekarang (mjr8)