KHA Dahlan, pendiri Muhammadiyah dikenal ulama yang luas pengetahuannya, dalam ilmunya, arif dalam bertindak, serta memilih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu. Selain itu KHA Dahlan dikenal sebagai ulama yang memiliki kecerdasan, termasuk kecerdasan beragama dan kecerdasan berbudaya.
Agar dakwahnya efektif dan mampu mengubah perilaku masyarakat dalam beragama dan dalam menjalani hidup sehari-hari, KHA Dahlan memilih gerakan yang berfokus. Memilih mana yang paling mendesak untuk dilakukan dan mana yang kemudian diperlukan penyempurnaan. Dalam hal ini KHA Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah pada awalnya bukan gerakan fiqih, tetapi gerakan keagamaan dan kemasyarakatan. Tujuannya adalah membawa Islam agar berkemajuan. Islam yang fungsional, Islam yang dapat membebaskan umat Islam dari kebodohan, kemiskinan, dari penyakt fisik dan rendahnya kemampuan untuk menyejahterakan dirinya sendri lewat kegiatan ekonomi dan perdagangan.
Baca: Fiqih Kiai Dahlan Vs Fiqih Muhammadiyah?
Sebelum Majelis Tarjih berdiri, Muhammadiyah masih mengadopsi dan mentoleransi hasil ijithad ulama tempo dulu berupa fiqih ibadah. Isi kitab fiqih lama hasil ijtihad ulama tempo dulu itu belum ditelaah secara teliti dalil-dalilnya. kebutuhan umat pada abad itu dan proses mengapa hasilnya menjadi seperti itu. Baru setelah Majelis Tarjih berdiri, langkah untuk menjernihkan fiqih, termasuk fiqih ibadah dilakukan. Hasilnya tentu berbeda dengan apa yang pernah disampaikan oleh ulama Muhammadiyah awal. Dan perbedaan ini wajar saja bagi Muhammadiyah. Dengan demikian tidak perlu dibuat menjadi heboh.
KH Drs Ahmad Muhsin Kamaludiningrat Sekretaris MUI DIY menjelaskan, memang dalam proses pengembangan persyarikatan Muhammadiyah pada masa Kiai Ahmad Dahlan dulu, pemahaman agama para tokoh Muhammadiyah terutama dalam bidang fiqih agak berbeda dengan putusan Majlis Tarjih sekarang. Misal dalam shalat masih menggunakan bacaan qunut dan menggunakan “sayyid” ketika menyebut nama Nabi Muhammad. Tentu ini sangat berbeda dengan tuntunan Tarjih sekarang.
Baca: Fiqih Ahmad Dahlan dan Tarjih
Tapi pada prinsipnya, apa yang disampaikan Kiai Ahmad Dahlan itu adalah pembaharuan, dan pembaharuan itu kembali pada Al-Qur’an dan Hadits. “Jadi perbedaan fiqih lama dengan fiqih hasil Majelis tarjih sekarang itu, menurut saya sangatlah wajar. Karena adanya perkembangan ilmu dan budaya. Begitu juga dengan ilmu tafsir dan hadits yang metodenya terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dan seharusnya masyarakat pun tahu kalau fiqih itu adalah hasil ijtihad yang harus disesuaikan dengan bahasa, budaya dan adat. Dan belum tentu benar. Dengan demikian masih memungkinkan dilakukan langkah ijtihad lagi terhadapnya,” katanya.
Selain itu, Kiai Dahlan dulu menyebarkan agama Islam tidak secara revolusi, melainkan evolusi. Artinya ada tahapan-tahapan pengambilan rujukan yang disesuaikan dengan budaya masyarakat saat itu. Serta dibutuhkan kecermatan berdasarkan apa yang beliau lihat dan dikontektualisasikan dengan masanya. Walaupun perkembangan ilmu pada saat itu belum seluas dan sedalam sekarang.
Baca: Memahami Pemikiran dan Langkah Ahmad Dahlan
Majelis Tarjih sekarang, adalah tempat untuk mengkaji ulang permasalahan-permasalan lama serta solusi bagi problem baru dengan menjelaskan dan mengumpulkan dalil-dalil atau pendapat yang lebih kuat. “Yaitu dengan merujuk pada Qur’an, Hadits, dan Ro’yu (Akal),” tambahnya.
Baca: Keputusan Tarjih Harus Relevan dengan Persoalan Mutakhir
Prof Dr Abdul Munir Mulkhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga yang dihubungi SM mengisahkan, “Pengungkapan kembali buku fiqih yang diterbitkan HB Majelis Pustaka, mudah dipakai berbagai pihak untuk menyimpulkan bahwa Muhammadiyah saat ini telah menyimpang dari tradisi pendirinya, Kiai Ahmad Dahlan. Lebih ekstrem lagi Muhammadiyah telah berkembang menjadi pemecahbelah umat dan pengadudomba umat. Kesimpulan dan tuduhan demikian juga mudah memancing emosi aktivis yang merasa paling punya komitmen untuk melabrak para pihak tersebut.”
Ada pelajaran berharga dari pengungkapan kembali fiqih yang terbit tahun 1920 an tersebut. Pertama, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan yang terus berubah dan berkembang, bukan gerakan beku dan mati. Kedua, bahwa gerakan Muhammadiyah selalu berhubungan dengan situasi sosial budaya tempat ia bergerak. Ketiga, bahwa pemahaman (penafsiran) atas Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah sesuatu yang sekali jadi, melainkan sebuah proses yang tidak pernah berhenti.
Baca: Dialog Prof Dr H Syamsul Anwar MA: Fiqih Muhammadiyah Seperti Fiqih Pada Umumnya
Perbedaan faham keagamaan antara tokoh generasi awal dengan faham keagamaan (umat) Islam pada umumnya terletak sekurang-kurangnya pada hal-hal berikut: Pertama, tokoh generasi awal mempergunakan akal fikiran suci dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, sementara umumnya umat Islam mengikuti tradisi yang dibakukan dalam pemikiran ulama terdahulu.
Kedua, pengamalan Islam generasi awal Muhammadiyah diorientasikan pada pembebasan masyarakat lapis bawah dari ketertindasan akibat kemiskinan kebodohan, dan kepenyakitan, sementara praktik Islam umumnya umat lebih sebagai tradisi yang disakralkan.
Faham keagamaan tokoh generasi awal dan generasi kemudian relatif tidak berbeda, karena keduanya sama-sama mempergunakan manhaj (metodologi) berbasis pada peran akal pikiran dalam memahami sumber ajaran agama Islam. Perbedaan lebih nampak pada hasil yang diperoleh atau produknya dan pada orientasi penerapan manhaj tersebut. Generasi awal lebih fokus pada pembebasan kaum tertindas tanpa memandang latarbelakang agama, etnis, dan kebangsaan sebagai hal yang lebih utama dibanding membuat regulasi ritual fiqihis.
“Sementara generasi yang kemudian lebih fokus menghasilkan regulasi ritual ibadah yang fiqihis. Jika pada masa generasi awal Penolong Kesengsaraan Omum (PKU) mendominasi hampir seluruh kegiatan amal usaha, pada masa yang kemudian fatwa tarjih yang fikihis mendominasi hampir seluruh kegiatan amal usaha,” tuturnya.
Abdul Munir Mulkhan menengarai, generasi awal Muhammadiyah lebih fokus pada usaha pemberdayaan umat lapis bawah agar bisa memecahkan persoalan aktual kemiskinan, ancaman penyakit, dan rendahnya akses pendidikan modern (cenderung anti sekolah), karena itu kegiatan dan gerakan pada generasi awal lebih fokus pada pendidikan, kesehatan, dan advokasi pemberdayaan kaum tertindas dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam beragam agama dan tidak beragama dari beragam kebangsaan.
Lembaga Tarjih di Muhammadiyah dibentuk pertamakali guna menjalankan fungsi resolusi konflik antar antar umat akibat perbedaan praktik ritual Islam. Melalui Tarjih, Muhammadiyah hendak menempatkan diri sebagai saudara tua dari beragam kelompok umat Islam, bukan hanya di Hindia Belanda, melainkan juga di seluruh dunia.
Drs Sukriyanto AR, MHum, Ketua PP Muhammadiyah mengakui bahwa, Muhammadiyah masa Kiai Ahmad Dahlan memang belum penekanan khusus terhadap perkembangan fiqih. Masih menggunakan sayyid dalam menyebut nama Nabi Muhammad saw, masih menggunakan qunut dalam shalat. “Bahkan Kiai Dahlan biasa mengajak santrinya untuk berziarah kubur mendoakan para wali ketika menjelang tiba bulan Ramadlan,” tuturnya.
Menurut Syukriyanto, setelah lahirnya Majlis Tarjih tahun 1927 pada Muktamar Tarjih di Pekalongan. Muhammadiyah mulai mendalami dan menelaah kembali ajarannya khususnya terkait hukum fiqih. Melalui telaah panjang tim Tarjih, ajaran lama Muhammadiyah kemudian diubah disesuaikan dengan pendapat dan dalil yang lebih kuat dan terpercaya. Sebagian fiqih lama tidak diperbolehkan lagi untuk dikerjakan, tentunya dengan adanya penjelasan yang baik dan runtut, yang disesuaikan dengan akal pikiran yang jernih. Yaitu dengan bukti-bukti atau hasil-hasil penelitian yang mendukung.
Metode yang digunakan Kiai Dahlan dalam menetapkan pendapat masih sebatas bersumber Qur’an dan Hadits. Mungkin juga menggunakan akal. Tapi belum seluas dan sedalam sekarang. Sedangkan Tarjih sekarang menggunakan peran akal dalam memahami ajaran Islam yang memang sangat luas ini.
Selain itu, perkembangan ilmu masa Kiai Dahlan juga belum seluas dan secepat hari ini. “Dulu Qur’an dan Hadits masih ditafsirkan secara bahasa saja, dengan sejarah Nabi sebagai penjelasnya. Namun sekarang ada banyak faktor yang dipertimbangkan Tarjih dalam menafsirkan Qur’an dan Hadits,” tambahnya.
“Saya rasa perbedaan fiqih sangat wajar terjadi. Apalagi perbedaan itu antar zaman. Dalam satu zaman saja memungkinkan perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan bahasa, budaya dan adat,” kata Pak Syukri AR (Bahan gsh dan tof. Tulisan tof) suara muhammadiyah nomor 5 tahun 2014.