Memahami Pemikiran dan Langkah Ahmad Dahlan

Muhammadiyah Haedar Nashir Agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Dok SM

Dr H Haedar Nashir, MSi

Apakah Kiai Haji Ahmad Dahlan bermazhab tradisional dan Syafiiyah karena shalat tarawihnya duapuluhtiga rakaat?

Pandangan seperti itu jelas bias dan menyederhanakan persoalan, serta mereduksi sosok Kiai Dahlan sebagai mujadid atau pembaru dalam makna dan cakupan yang luas.

Namun pendapat seperti itu sebenarnya sederhana. Apa sederhannya? Karena Kiai Dahlan fokus pemikirannya lebih tertuju pada persoalan-persoalan besar yang memerlukan pembaruan, yang menyangkut masa depan umat yang jauh lebih mendesak dan utama. Hal-hal yang menyangkut ibadah mahdhah kendati penting tampaknya belum menjadi fokus pembaruan Kiai Dahlan mengkuti kaidah ushuliyah taqdim al-aham min al-muhim, mendahulukan yang terpenting dari yang penting.

Apakah dengan demikian Kiai Dahlan semazhab dengan kaum tradisional? Tidak sama sekali. Ambil contoh dalam hal ziarah kuburan pendiri Muhammadiyah itu keras sekali pendapatnya. Karena dalam pandangannya menjurus ke paraktik kemusyrikan. Kiai Dahlan sebenarnya juga memasuki tajdid pemurnian akidah dan ibadah. Hanya saja, tidak semua hal sempat menjadi perhatiannya, Karena begitu banyak masalah lain yang bersifat muamalah-dunyawiyah, yang memerlukan pembaruan yang bersifat dinamisasi secara lebih mendesak dan memiliki dampak luas bagi hajat hidup umat dengan mengerahkan segala kemampuan.

Baca:

Fiqih Kiai Dahlan Vs Fiqih Muhammadiyah?

Fiqih Ahmad Dahlan dan Tarjih

KHA Dahlan Memilih Langkah Evolusi

Keputusan Tarjih Harus Relevan dengan Persoalan Mutakhir

Dialog Prof Dr H Syamsul Anwar MA: Fiqih Muhammadiyah Seperti Fiqih Pada Umumnya

 

Pembaru Sejati

Kiai Dahlan yang nama aslinya Muhammad Darwisy memang lahir dalam kultur keIslaman dan lingkungan santri tradisional. Beliau juga hidup dalam kurun 1969-1923 ketika informasi keagamaan termasuk sumber-sumber rujukan keislaman klasik masih terbatas. Karena itu logis kalau dalam sebagian praktik ibadahnya seperti dalam hal shalat tarawih masih sama dengan yang dipraktikkan kebanyakan kiai dan umat. Namun, hal demikian tidak mengurangi pemikiran besar tajdid pendiri Muhammadiyah itu, karena banyak sekali aspek dan hajat hidup umat yang diperbarui demi kemajuan peradaban Islam ke depan kala itu. Karenanya soal praktik tarawih terlalu simpel untuk dijadikan argumen mereduksi Kiai Dahlan se-bagai mujadid ke dalam sosok bermazhab tradisional atau Syafiiyah.

Lagi pula dalam hal ibadah mahdhah, selain dalam aspek lain yang ranahnya bersifat muta’abudi (menyangkut ibadah) tentu seluruh umat Islam harus mengikuti Sunnah Nabi yang maqbulah. Kiai Dahlan pun jika masih sempat melakukan jarh wa ta’dil (kritik hadits) dan menggunakan tarjih, sudah barang tentu akan mengikuti apa yang disunnahkan Rasulullah. Namun sekali lagi, tampaknya beliau belum sempat masuk ke arena tajdid pemurnian yang detail di wilayah ibadah mahdhah yang demikian. Karenanya di kemudian hari Majelis Tarjih yang berdiri sejak tahun 1927 melakukannya sesuai dengan prinsip manhaj tarjih yang dianutnya.

Apa yang dilakukan Majelis Tarjih juga tidak keliru dan benar adanya, karena prinsip beribadah memang harus benar-benar sampai ke tingkat maqbulah yang diajarkan atau disunnahkan Nabi Muhammad, tidak boleh ditambah atau dikurangi, kecuali yang Nabi sendiri mempraktikkan tidak satu cara. Tarjih sama sekali tidak membuat Muhammadiyah menjadi menyimpang dari pandangan keIslaman pendirinya, yang lebih memelopori tajdid atau pembaruan dalam banyak wilayah mua’malah dunyawiyah di samping dalam pemurnian akidah Islamiyah.

Kalau di kemudian hari Tarjih atau Muhammadiyah menemukan praktik dan pemikiran Kiai Dahlan yang tidak sejalan misalnya dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi yang maqbulah, dan itu bukan ranah ijtihad, maka tidak merupakan langkah keliru atau salah manakala berbeda dan tidak mengikuti pendiri Muhammadiyah itu. Kapan dan di mana pun semakin jauh dari masa Rasulullah segala kemungkinan persambungan atau sebaliknya keterputusan dari praktik ajaran Nabi sangat dimungkinkan, di situlah pentingnya tajdid baik yang bersifat pemurnian maupun dinamisasi. Bahkan Majelis Tarjih sendiri dalam beberapa hal melakukan koreksi atau perubahan atas putusan keagamaannya yang telah diputuskan di Muktamar atau Munas Tarjih dan hal itu lazim dalam sistem fiqih dan mazhab mana pun sepanjang sejarah Islam.

Hal yang harus diletakkan secara tegas dan tidak dapat direduksi, bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah itu ialah sosok mujadid atau pembaru, yang pembaruannya membawa perubaha besar dan berdampak panjang bagi masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia yang waktu itu masih terbelenggu penjajahan, tradisionalitas, dan keterbelakangan di segala bidang kehidupan. Menurut Dr Nurcholish Madjid, Dahlan adalah sosok pencari kebenaran yang hakiki, yang secara cerdas mampu menangkap makna tersirat tafsir Al-Manar, dan langkah tajdidnya bersifat break-throught, tanpa pra kondisi sebelumnya (Madjid, 1983: 310).

Amad Dahlan tidak lama bermukim di Makah dua kali, yakni tahun 1989 dan 1903, yang sewaktu di Makkah sempat bersama KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama yang keduanya berguru kepada Syeikh Khatib Al-Minangkabawi. Namun, sekembalinya ke tanah air Kiai muda dari Kauman Yogyakarta itu justru menjai pembaru atau mujadid besar. Mujadid muda, ketika melakukan pembaruan usianya baru 21 tahun, meski di foto yang beredar sosoknya tampak tua. Wawasan dan sikap kemasyarakatannya pun sangat luas, radius pergaulannya dengan siapapun termasuk dengan pendeta Van Lijt, dengan kalangan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Ahmad Dahlan juga pernah beberapa kali menjadi narasumber pengajian Ta’mirul Ghafilin di rumah Tjokroaminoto di Surabaya pada zaman awal pergerakan di mana di majelis itu ada Soekarno muda dan kawan-kawan yang di belakang hari kemudian tertarik menjadi angota Muhammadiyah.

Buah Pembaruan

Menurut Kiai Hadjid, Kiai Dahlan membaca kitab-kitab klasik sebagaimana umumnya dibaca para kiai dan ulama kala itu. Dalam Ilmu ‘Aqaid ialah kitab beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ilmu fiqih dari Madzhab Syafi’iyah, Tasawuf mengkuti Imam Al-Ghazali. Kitab-kitab lain yang dibaca Kiai Dahlan ialah kitab Tauhid Muhammad Abduh, kitab Kanzul ‘Ulum, Dairatul Ma’arif karangan Farid Wajdi, kitab-kitab Fil-Bid’ah dan At-Tawassul karangan Ibn Taimiyyah, kitab Al-Islam wa al-Nashraniyyah karangan Muhammad Abduh, kitab Idharulhaq karangan Rahmatullah Al-Hindi, dan kitab-kitab Hadits karangan Ulama Madzhab Hanbali. Namun Kiai Dahlan paling menonjol mempelajari Tafsir Al-Manar, Majalah A-Manar, dan tafsir Juz ‘Amma karangan Muhammad Abduh, serta kitab Al-Urwatul Wustqa karangan Jamaluddin Al-Afhgani (Hadjid, t.t.: 6).

Jika mengikuti kitab-kitab yang dibaca Kiai Dahlan, maka tampak ada persentuhan dan kesamaan rujukan maupun pertautan dengan para ulama klasik dari banyak mazhab, termasuk Syafiiyah dan juga tasawuf Al-Ghazali. Hal yang demikian lumrah adanya. Namun yang membedakan dan menonjol dari Kiai Dahlan, bahwa persentuhan pemikiran itu justru menjadi inspirasi untuk melahirkan pembaruan atau tajdid. Lebih-lebih dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan terutama Muhammad Abduh.

Kiai Dahlan sendiri memang gemar dengan mencari kebenaran dari mana pun asalnya. Sebagaimana dikutip Kiai Hadjid, pendiri Muhammadiyah itu memiliki pandangan sebagai berikut soal kebenaran, “Orang yang mencari barang yang hak itu perumpamaannya demikian; seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kita Suci Al-Quran dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel (Perjanjian Lama dan Baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Lagi pula pembicaraannya dengan baik-baik, tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterus. Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan barang yang hak. Akan tetapi sebagian besar dari para manusia hanya anggap-anggapan saja, diputuskan sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya. Al-nasu a’da-u ma jahilu, manusia itu semua benci kepada yang tidak diketahui” (Hadjid, t.t.: 13).

Kegigihan Kiai Dahlan dalam mencari kebenaran melahirkan buah pembaruan. Buah pembaruannya antara lain pelurusan arah kiblat dengan pendekatan ilmu falak dan pemahaman agama yang bercorak tajdid (1889), mendirikan Sekolah Islam modern dengan sistem klasikal ala Barat (1911), merintis Taman Pustaka dengan penerbitan Majalah Swara Muhammadiyah (1915), mendirikan organisasi perempuan Islam melalui Aisyiyah (1917), pelembagaan kegiatan pengajian di ruang publik, pengorganisasian haji dan zakat (1921), gerakan “Al-Ma’un” untuk pembebasan dan pemberdayaan kaum miskin (1922), dan lain-lain. Menurut Charles Kurzman, sistem Sekolah Muhammadiyah yang didirikan Ahmad Dahlan termasuk bagian dari gerakan kaum liberal Islam di Indonesia awal abad ke-20, yang membedakannya dari gerakan kaum adat dan revivalis (Kurzman, 2003, xxiii). Sedangkan Dr Alfian menulis dalam disertasinya bahwa Ahmad Dahlan melakukan reformasi tiga hal yaitu reformasi keagamaan, perubahan sosial, dan peran kekuatan politik.

Buah pembaruan Kiai Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah kelihatannya ad-hoc dan sebagian menyebut sosok ini sebagai manusia amal. Pendapat seperti ini bisa diterima atau ditolak karena bersifat relatif, sebab apapun yang dihasilkan dari pembaruan Ahmad Dahlan memiliki akar pada jiwa dan gagasan mendasar yang tidak sederhana. Bahkan pembaruan Dahlan yang bercorak amal dan ad-hoc menjadi penting karena Islam tidak ada manifestasi lain kecuali dalam amal, dan karena itulah karya amal pembaruan Kiai Dahlan itu telah menjadikan Muhammadiyah yang didirikannya menjadi organisasi Islam modern yang terbesar bukan hanya di dunia Islam tetapi bahkan di dunia (Madjid, 1990). Dalam pendangan Mukti Ali, pemikiran Ahmad Dahlan memiliki keunikan yang berbeda dari pembaru Islam sebelumnya yakni dalam dua hal,(1) pelembagaan amaliah Islam dan berbagai institusi pendidikan dll., (2) mendirikan organisasi perempuan Islam yakni Aisyiyah (Mukti Ali, 1990).

Pengaruh dan daya rambat pemikiran dan amal pembaruan Kiai Ahmad Dahlan sebagaimana sering penulis kutip di banyak kesempatan dan tulisan dapat digambarkan sebagaimana pengakuan Pemerintah Indonesia ketika tokoh ini diangkat sebagai Pahlawan Nasional tahun 1961, yakni: (1) KHA Dahlan telah memelopori kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; (2) Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya; Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam; (3) Dengan organisasinya Muhammadiyah telah memelopori amal-usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan (4) Dengan organisasinya Muhammadiyah bagian Wanita atau Aisyiyah telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria (Hadikusuma, t.t: 10) suara muhammadiyah nomor 5 tahun 2014 hal 12-13.

Exit mobile version