Komentar Din Syamsudin dan Muhadjir Effendi Tentang Kontroversi Kitab Fikih Muhammadiyah

Komentar Din Syamsudin dan Muhadjir Effendi Tentang Kontroversi Kitab Fikih Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Isu tentang Fikih Muhammadiyah ini sebetulnya sudah sejak lama berhembus, tetapi  hembusan isu yang sudah hamper tak terasa ini dihembuskan lagi oleh  media menstrem di bulan Ramadhan ini. Bagaimana pun isu tentang dua ormas besar (Muhammadiyah dan NU) ini akan selalu menarik diperbincangkan.

Media ini, di akhir Ramadhan 1437 H (2016), menyoroti  Kitab Fikih Muhammadiyah yang mirip-mirip dengan Fikih yang dipraktekkan oleh Nahdatul Ulama (NU).  Kitab Fikih ini oleh kalangan NU diaku sebagai karangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Kyai Haji Ahmad Dahlan sendiri oleh kalangan Muhammadiyah dianggap jarang meninggalkan karya tulis, apalagi menulis kitab fikih hingga 3 jilid. Itu bukan Ahmad Dahlan banget (bahasanya anak muda).  Lebih-lebih kitab yang dinyatakan terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah itu terbit tahun 1924. Tahun itu Kyai Dahlan sudah meninggal dan NU belum lahir.

Secara khusus sebetulnya Suara Muhammadiyah telah membahas tentang Kitab Fikih ini pada tahun 2014, tepatnya no: 5 tahun 2014. Tulisan yang mengulas tentang pandangan Muhammadiyah terhadap Kitab Fiqih ini. Beberapa tulisan tentang ulasan ini telah di upload di suaramuhammadiyah.id ini .

Tulisan-tulisan tersebut antara lain:

Dialog Prof Dr H Syamsul Anwar MA: Fiqih Muhammadiyah Seperti Fiqih Pada Umumnya

Fiqih Ahmad Dahlan dan Tarjih

Memahami Pemikiran dan Langkah Ahmad Dahlan

Dinamika Majelis Tarjih

Keputusan Tarjih Harus Relevan dengan Persoalan Mutakhir

KHA Dahlan Memilih Langkah Evolusi

 

Sedangkan tulisan tentang Kontroversi Kitab Fikih Muhammadiyah ini juga mengundang  komentar  mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsudin yang menjadi nara sumber dari laporan khusus tersebut. Selain itu  juga Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendi juga berkomentar. Apakah komentar mereka:

Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah):

Tempo edisi baru, memuat artikel tentang “Kitab Fikih” Muhammadiyah

Yaitu sebuah kitab dengan tulisan Arab dan dalam Bahasa Jawa yang menyebut : diterbitkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah, tanpa  tahun dan bersifat fotokopian.

Reportase agaknya ingin menunjukkan bahwa, dengan kitab itu ubudiyah Muhammadiyah awal tidak berbeda dengan NU.

Kebetulan saya diwawancarai, dan saya nyatakan :

  1. Otentisitas kitab tersebut perlu diuji secara akademik oleh ahli filologi (bidangnya Mas Hajriyanto Y Thohari), karena meragukan :
  2. Khat agak moderen, tdk seperti khat kitab-kitab kuning kuno baik cetakan maupun tulisan tangan.
  3. Tiga halaman pertama berbeda dengan halaman-halam berikutnya, yaitu terkesan lebih moderen dan “bold”.
  4. Tidak ada penyebutan penulis (Ahmad Dahlan), kecuali hanya Taman Pustaka Muhammadiyah.
  5. Seandainya kitab itu benar dari Muhammadiyah / KH. Ahmad Dahlan, maka wajar dan tak ada masalah ;
  6. Interaksi KH. Ahmad Dahlan dengan guru-guru yang berpandangan demikian (Saleh Darat, Ahmad Khatib, dan syeikh2 lain di Mekkah).
  7. Perhatian KH. Ahmad Dahlan bukan / belum pada fikih tetapi pada pembaruan pemikiran  (kalam/Abduh, kemajuan/Aghani, dan Ilmu Falak).
  8. Walau mungkin sama pada fikih / ubudiyah tapi jelas beda pada aspek aspek non fikih.
  9. Bagi Kaum Muhammadiyin, Muhammadiyah bukan Dahlaniyah, dan perkembangan paham keagamaan bersifat dinamis (berkemajuan) dari masa ke masa.
  10. Seperti pada gerakan gerakan keagamaaan lain seperti IM dan NU, ideologisasi berlangsung pada tokoh tokoh pasca pendiri (IM= Sayyid Qutb, NU= Wahab Hasbullah, dan M= Mas Mansur, dll).
  11. Di kalangan fukaha sekalipun, perbedaan / perubahan pikiran sangat mungkin sejalan dengan perubahan ruang dan waktu, seperti pada Imam Syafii dengan qaulun qadim dan qaulun jadid. Begitu pula Ahmad Dahlan.Ada satu poin penting;
  12. Muhammadiyah sebagai gerakan sangat bertumpu pada sistem, institutionalized, dan bukan berorientasi personal apalagi dengan kultus individu.

Begitu pula, wawasan keagamaannya bertumpu pada ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Itulah Islam Berkemajuan.

  1. Maka kitab itu tidak ada masalah dan tidak usah dipermasalahkan.

Mudah mudahan pernyataan saya dikutip proporsional, walau saya sendiri ragu. Apa dan betapa pun reportase itu, bagi kita  Rapopo atau EGP (Emang Gue Pikirin).

Salam Lailatul Qadar  (***).Prof Dr Muhadjir Effendi (Ketua PP Muhammadiyah) :

Soal kitab kumal yg diklaim karya KH A Dahlan oleh Yth teman teman NU itu sudah lama menjadi perbincangan dan bahan pengajian di kalangan NU. Tentu misinya menyudutkan untuk Muhammadiyah. Di Malang yang saya tahu, yang paling getol mengkaji kitab kuning itu kyai Marzuki Mustamar. Dia memakai logika sederhana. Bahwa yang paling pintar di organisasi itu ya pendirinya. Kalau NU mbah Hasyim Asyari kalau Muhammadiyah Kyai Dahlan. Karena itu para pengikutnya harus taat mengikuti ajarannya.

Atas dasar kitab yang dia temukan itu, dia berkesimpulan Muhammadiyah itu sudah melenceng dari ajaran kyai Dahlan, karena di kitab itu misalnya kyai Dahlan memakai qunut dalam Salat subuh, tarawih 23 rekaat, dst dst.

Jelas mereka memakai logika yang (barangkali) seperti itu berlaku di NU dan logika semacam itu digunakan untuk “membaca ” Muhammadiyah. Padahal Muhammadiyah itu dibangun atas dasar logika yang berbeda.

Itu pun, kalau teman teman NU seratus persen taat kepada ajaran hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga tidak 100 persen benar. Misalnya, mbah Hasyim mengharamkan Haul, tapi mereka malah mengamalkan Haul. Bahkan Ponpes Tebu Ireng yang secara tradisional hingga kepemimpinan Pak Ud tidak pernah menyelenggarakan upacara Haul sekarang di gelar Haul untuk GUS Dur.

Mbah Hasyim pernah berfatwa haram hukumnya ada partai Islam selain Masyumi, justru sepeninggal mbah Hasyim NU tahun 1953 keluar dari Masyumi jadi partai sendiri. Justru Muhammadiyah yang taat kepada fatwa itu, hingga Masyumi bubar, Muhamnadiyah tetap menjadi anggota istimewa Masyumi.

Tulisan ini sekedar menambah tulisan tanggapan  Pak Din Syamsuddin yg menurut saya sudah cukup memadai utk merespons isu kitab kuning yang isinya memang penting untuk dibaca tetapi bukan lagi waktunya untuk dijadikan pegangan.

Saya sebetulnya berusaha menahan diri sepanjang ada perbedaan NU dan Muhammadiyah, karena bagi saya ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat adalah segala-galanya.

Kalau Muhammadiyah dan NU terjalin ukhuwah yang kokoh bersatu dan menjadi satu kesatuan, untuk membereskan persoalan bangsa ini, alangkah dahsyatnya. Tetapi itu nyaris menjadi sebuah ilusi. Terlalu banyak pihak pihak yang ketakutan kalau NU dan Muhammadiyah bersatu karena  berusaha menjauhkan bahkan menabrakkan satu sama lain. Disamping harus diakui di dalam dua organisasi ini ada  yang semangat ashobiahnya berlebihan (***).

Exit mobile version