Jejaring sosial media telah memberi ruang sangat leluasa untuk setiap orang atau kelompok berinteraksi. Tak kecuali bagi kelompok-kelompok maupun perorangan yang mengafiliasikan diri pada organisasi atau gerakan Islam, yang menjadikan media maya itu sebagai alat paling efektif untuk menyebarluaskan gagasan, paham, dan kepentingannya.
Kadang pesan dan isu yang disampaikan cukup provokatif, seperti ada yang menisbahkan Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan paham dan golongan beraliran tradisional. Kiai Dahlan pun bermazhab sama dengan mazhabnya.
Kelompok lain membawa isu lain pula. Sosial media kadang dijadikan medan pertempuran untuk saling serang antar paham dan golongan, kadang saling sesat menyesatkan. Karena bebasnya media baru ini, sering banyak orang atau pihak dengan seenaknya melontarkan cercaan atau hujatan, nyaris tanpa adab atau akhlaq Islami yang santun dan tabayun. Apa saja dan siapa saja boleh apapun, begitulah kira-kira kredo di jejaring sosial.
Kalau sudah menyangkut perbedaan pandangan keagamaan memang tidak ada habisnya. Ada banyak yang memang harus didialogkan secara cerdas, arif, dan cara yang elegan dengan tetap dibingkai ukhuwah dan saling merasa satu iman dan Islam. Tetapi sesungguhnya banyak pula yang menjadi wilayah ikhtilaf atau keragaman paham, yang tentu meniscayakan tasamuh (toleransi atas keragaman paham) dan tanawu’ (kepusparagaman cara beribadah), yang tentu saja tidak perlu saling berambisi menyatukan.
Karena itu menjadi naif dan kurang bijaksana manakala masing-masing orang atau golongan dalam tubuh umat Islam terus ingin berekspansi atau menarik pihak lain ke orbit paham maupun gerakannya. Termasuk dalam melakukan klaim sepihak kalau tokoh dari gerakan Islam lain seolah menjadi bagian atau sama dengan paham dan golongannya. Untuk apa klaim-klaim seperti itu? Persis sama ketika satu pihak terus saling menyesatkan paham yang ujungnya kian memperuncing dan memanaskan hubungan antar sesama kelompok umat Islam, yang bermuara pada makin lemahnya kekuatan Islam di bumi manapun. Apalagi sampai memancing saling menegasikan dan bahkan menjurus ke potensi kekerasan yang merugikan umat Islam sendiri.
Maka umat Islam dengan seluruh tokoh dan kelompoknya penting untuk membangun paradigma baru dalam relasi sesama umat Islam ke arah yang lebih toleran, tanawu, bijaksana, dewasa, positif, dan konstruktif. Sudah tidak zamannya saling serang satu sama lain. Sudah kehilangan relevansi untuk saling menegasikan dan mengekspansi sesama umat. Mengklaim diri paling benar dan Islami ketimbang yang lain. Apalagi mengobarkan api permusuhan yang pada muaranya menjatuhkan Islam dan umat Islam sendiri. Jika belum mampu bekerjasama, boleh sama-sama bekerja dengan sikap positif. Tentu akan semakin baik manakala mengembangkan kerjasama yang saling memajukan demi kejayaan Islam dan umat Islam.
Maka menjadi penting ikhtiar untuk terus mencerahkan alam pikiran, paham, pandangan, dan sikap keislaman di tubuh umat Islam. Peran setiap tokoh dan organisasi keagamaan di seluruh lingkungan umat sangat penting untuk terus mengembangkan pandangan dan suasana yang semakin menuju pada sikap keagamaan yang cerdas, berukhuwah, toleran, damai, saling menghormati, menjunjung tinggi ihsan, dan tarahum (saling kasih) untuk memajukan kehidupan umat di segala lapangan kehidupan. Itulah spirit baru orientasi keislaman dalam relasi keumatan yang dapat menyelamatkan dan sekaligus memajukan Islam ke depan. Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.
Tajuk Suara Muhammadiyah no 05 tahun 2014