Karena itu, pasca Ramadhan setiap muslim harus melakukan hijrah perilaku dari hal-hal buruk ke hal-hal baik, dari hal baik ke hal lebih baik lagi, sehingga mencapai puncak tertinggi ketakwaan dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah makna puasa sebagai jalan pencerahan diri menjadi insan terbaik. Di bulan Syawwal sebagai buah dari ibadah Ramadhan kita harus benar-benar “takhrij min al-dhulumat ila al-nur”, keluar dari segala kegelapan menuju pada tatanan kehidupan yang berperadaban mulia. Apabila setelah Ramadhan tidak tejadi pencerahan hidup kaum muslimin, apalagi sampai jatuh ke kehidupan yang buruk, maka puasa yang dilakukan sebulan penuh itu hanyalah puasa rukun tanpa isi sebagaimana sabda Nabi saw:
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga,” (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim).
Sabda Nabi itu mengingatkan kepada kita. Bahwa boleh jadi setelah kita berpuasa Ramadhan, ternyata tidak membuahkan perubahan-perubahan perilaku menjadi lebih baik. Tubuh kita puasa tetapi ruhani, lisan, hawa nafsu, perasaan, pikiran, dan tindakan kita tidak ikut berpuasa. Puasa sekadar mengubah jadwal makan, minum, dan pemenuhan keperluan biologis lainnya tanpa arti dan pencerahan perilaku. Puasa formal semacam itu tidak akan melahirkan pencerahan perilaku menjadi lebih baik, apalagi mencapai derajat takwa yang sebenar-benarnya takwa.
Jamaah Rahimakumullah!
Pasca Ramadhan dan Idul Fitri setiap Muslim dituntut mengaktualisasikan nilai-nilai puasa dan ketakwaan dalam kehidupan berbangsa. Sebagai penduduk mayoritas umat Muslim harus memberi sibghah atau warna dasar dalam membangun karakter bangsa. Bangsa Indonesia saat ini tengah memerlukan obat ruhaniah agar bebas dari sejumlah penyakit kronis yang muaranya pada karakter. Korupsi dan berbagai penyimpangan di tubuh bangsa ini sesungguhnya berhubungan dengan persoalan akhlak, selain faktor sistem.
Bangsa ini memerlukan para pemimpin dan warga yang benar-benar bertakwa; yakni mereka yang taat kepada Allah sekaligus jujur, amanah, adil, fathanah, bermoral, bertanggungjawab, dan berkhidmat penuh dalam mengurus negara dan nasib rakyat. Mari tumbuhkan jiwa muraqabbah, yakni merasa diri selalu diawasi Allah dalam seluruh gerak hidupnya. Mereka yang berjiwa muraqabbah tidak akan berbuat munkar dan penyimpangan, baik ada peluang apalagi tidak, karena seluruh tindakannya pasti diketahui Tuhan sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun,” (Qs Al-Baqarah: 235).
Umat Islam juga dituntut memberi contoh teladan dalam perilaku kebajikan kolektif. Jadilah umat yang meneladani dan tidak larut dalam penyimpangan perilaku. Bangsa ini sampai batas tertentu kehilangan sifat-sifat baik, seolah tercerabut dari akar ruhaniahnya selaku bangsa yang relijius dan berbudaya luhur. Dalam kehidupan sehari-hari kehilangan sifat jujur, halus budi, pemaaf, tasamuh, damai, amanah, kasih sayang, penyabar, dan mulia hati.