Oleh; DR H Haedar Nashir, Msi
Jamaah Idul Fitri Rahimakumullah!
Hari ini kita berhari-raya Idul Fitri sebagai jalan meraih kemenangan setelah perjuangan sebulan penuh berpuasa Ramadhan. Dalam kekhusyukan jiwa yang tulus, kita bersimpuh diri di hadapan Allah Yang Maha Agung untuk bertaqarrub kepada-Nya, menyucikan diri dari segala salah dan dosa, serta berazam meraih pahala terbaik dari-Nya. Kita kumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai wujud syukur atas hidayah Allah yang tidak terhingga sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur,” (Qs Al-Baqarah: 185).
Idul fitri bermakna ”Hari Raya Berbuka Puasa”. Setelah berpuasa sebulan, maka pada 1 Syawwal ini semua yang dilarang dalam puasa Ramadhan menjadi halal. Namun kendati dibolehkan maka selayaknya pemenuhan kebutuhan alamiah tersebut harus tetap teratur dan tidak berlebihan. Karena apalah artinya berpuasa sebulan lamanya manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (Qs Al-A’raf: 31).
Merayakan berbuka puasa adalah perbuatan lahir dan batin. Ketika berbuka-puasa, seorang muslim tidak sekadar bergembira secara jasmani, tetapi sekaligus meraih kebahagiaan ruhani tertinggi sebagaimana sabda Nabi, ”li shâim farhatâni, fahhatun ’inda ifthârihi wa farhatun ‘inda liqâ‘i rabbihi”, artinya ”Bagi yang berpuasa terdapat dua kegembiraan, pertama tatkala dia berbuka, kedua ketika kelak bertemu dengan Tuhan-nya”. Siapa yang tidak ingin berjumpa dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, untuk kemudian atas ridha-Nya dimasukkan ke dalam surga Jannatun Na’im.
Puasa juga dapat dijadikan momentum pembersihan jiwa. Usai berpuasa sebulan lamanya karena dasar iman dan pengharapan akan pahala Allah, setiap muslim akan dibersihkan dirinya dari dosa sebagaimana hadits Nabi:
Artinya: ”Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala Allah niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu,” (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari Abu Hurairah).
Karenanya pasca puasa Ramadhan mari kita rawat jiwa yang bersih ini agar tetap berbungkai fitrah sejati, yakni selalu cenderung pada yang serba baik dan menjauh dari yang serba buruk sebagaimana Firman Allah SwT:
Artinya: ”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya,” (Qs Asy-Syams: 7-10).
Kita selaku muslim kadang suka lalai dalam hidup. Qalbu yang semestinya dijaga agar tetap bersih dari segala benih dosa, dalam praktiknya kadang tergoda oleh hal-hal buruk dan nista. Iman yang semestinya dirawat, ternyata bukan kian meningkat, tetapi malah menurun karena menjauh dari kebaikan dan berbuat keburukan. Pasca puasa tidak jarang tabiat dusta, congkak, egois, tamak, pemarah, dan perangai buruk masih mewarnai sebagian hidup kita. Hendak berbuat kebaikan (ihsan) pun kadang terlalu banyak hitung-hitungannya, sehingga tidak menjadi kenyataan. Karenanya, di hari fitrah ini kita pupuk kembali jiwa yang bersih sehingga melahirkan perilaku uswah hasanah dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Jamaah Idul Fitri Rahimakumullah!
Tujuan puasa ialah meraih takwa sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa,” (Qs Al-Baqarah [2]: 183).
Takwa menurut para ulama ialah “al-imtisalu al-awamiri wa ijtinabu al-nawahi wa al-itqu ‘an al-nari”, yakni menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, serta terhindar dari siksa neraka. Takwa merupakan puncak kualitas terbaik manusia, yang esensinya ialah insan beriman dan beramal kebajikan yang serba melampaui (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 177).
Ketakwaan melahirkan sikap positif dalam hidup. Mereka yang bertakwa memiliki jiwa disiplin, tanggungjawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan diri yang tinggi selaku insan mulia. Orang bertakwa itu sabar, tawakal, dan penuh harapan kepada Allah manakala memperoleh ujian, musibah, dan hal yang tidak menyenangkan dalam hidup. Orang bertakwa itu cerdas, berilmu, produktif, dan gigih berikhtiar untuk meraih kemajuan selaku khalifah di muka bumi.
Orang bertakwa memiliki perisai diri yang kokoh. Mereka btidak akan korupsi, melakukan kekerasan, menyimpang, dan berbuat segala bentuk kerusakan di muka bumi. Mereka yang bertakwa tidak akan aji mumpung, tamak, serta menyia-nyiakan mandat rakyat. Mereka yang bertakwa selalu peka dan tidak buta-tuli terhadap derita orang lain. Mereka menjadi pribadi yang selalu waspada dan menjauhkan diri dari segala bentuk kemunkaran.
Jika puasa diproyeksikan untuk meraih derajat takwa, maka mari kita jadikan puasa sebagai mi’raj ruhaniah, yakni proses naik tangga ruhani ke puncak tertinggi kualitas manusia utama. Seluruh sikap hidup kita harus lebih baik dalam segala hal, kata sejalan tindakan, dan menjadi suri teladan.
Karena itu, pasca Ramadhan setiap muslim harus melakukan hijrah perilaku dari hal-hal buruk ke hal-hal baik, dari hal baik ke hal lebih baik lagi, sehingga mencapai puncak tertinggi ketakwaan dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah makna puasa sebagai jalan pencerahan diri menjadi insan terbaik. Di bulan Syawwal sebagai buah dari ibadah Ramadhan kita harus benar-benar “takhrij min al-dhulumat ila al-nur”, keluar dari segala kegelapan menuju pada tatanan kehidupan yang berperadaban mulia. Apabila setelah Ramadhan tidak tejadi pencerahan hidup kaum muslimin, apalagi sampai jatuh ke kehidupan yang buruk, maka puasa yang dilakukan sebulan penuh itu hanyalah puasa rukun tanpa isi sebagaimana sabda Nabi saw:
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga,” (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim).
Sabda Nabi itu mengingatkan kepada kita. Bahwa boleh jadi setelah kita berpuasa Ramadhan, ternyata tidak membuahkan perubahan-perubahan perilaku menjadi lebih baik. Tubuh kita puasa tetapi ruhani, lisan, hawa nafsu, perasaan, pikiran, dan tindakan kita tidak ikut berpuasa. Puasa sekadar mengubah jadwal makan, minum, dan pemenuhan keperluan biologis lainnya tanpa arti dan pencerahan perilaku. Puasa formal semacam itu tidak akan melahirkan pencerahan perilaku menjadi lebih baik, apalagi mencapai derajat takwa yang sebenar-benarnya takwa.
Jamaah Rahimakumullah!
Pasca Ramadhan dan Idul Fitri setiap Muslim dituntut mengaktualisasikan nilai-nilai puasa dan ketakwaan dalam kehidupan berbangsa. Sebagai penduduk mayoritas umat Muslim harus memberi sibghah atau warna dasar dalam membangun karakter bangsa. Bangsa Indonesia saat ini tengah memerlukan obat ruhaniah agar bebas dari sejumlah penyakit kronis yang muaranya pada karakter. Korupsi dan berbagai penyimpangan di tubuh bangsa ini sesungguhnya berhubungan dengan persoalan akhlak, selain faktor sistem.
Bangsa ini memerlukan para pemimpin dan warga yang benar-benar bertakwa; yakni mereka yang taat kepada Allah sekaligus jujur, amanah, adil, fathanah, bermoral, bertanggungjawab, dan berkhidmat penuh dalam mengurus negara dan nasib rakyat. Mari tumbuhkan jiwa muraqabbah, yakni merasa diri selalu diawasi Allah dalam seluruh gerak hidupnya. Mereka yang berjiwa muraqabbah tidak akan berbuat munkar dan penyimpangan, baik ada peluang apalagi tidak, karena seluruh tindakannya pasti diketahui Tuhan sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun,” (Qs Al-Baqarah: 235).
Umat Islam juga dituntut memberi contoh teladan dalam perilaku kebajikan kolektif. Jadilah umat yang meneladani dan tidak larut dalam penyimpangan perilaku. Bangsa ini sampai batas tertentu kehilangan sifat-sifat baik, seolah tercerabut dari akar ruhaniahnya selaku bangsa yang relijius dan berbudaya luhur. Dalam kehidupan sehari-hari kehilangan sifat jujur, halus budi, pemaaf, tasamuh, damai, amanah, kasih sayang, penyabar, dan mulia hati.
Di antara warga bangsa juga kehilangan kepekaan, pemihakan, kepedulian, empati, dan sikap saling berbagi terhadap mereka yang nasibnya malang dan menderita. Sebagian elite dalam mengemban amanat sekadar formalitas dan mereka mengidap penyakit tamak hingga lalai mengurus rakyat. Narkoba, kriminalitas, dan kekerasan masih mewarnai kehidupan sosial di banyak tempat, yang kondisinya berada di garis merah. Termasuk kekerasn terhadap anak dan perempuan yang sangat memprihatunkan. Politik cenderung liberal hingga marak politik uang dan anarkisme. Atasnama kebebasan segala hal boleh dilakukan seperti tuntutan hak kaum lesbi, gay, dan biseksual yang dapat merendahkan martabat bangsa.
Sikap negatif seperti itu mekar karena nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa terpinggirkan dari kehidupan. Agama sekadar ritual dan seremonial belaka. Budaya luhur pun hanya dijadikan simbol kebanggan semata. Mudah-mudahan kaum Muslimun di negeri ini, terbebaskan dari hal-hal buruk semacam itu, sebaliknya menjadi teladan terbaik dalam mewujudkan perilaku bertakwa bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.
Jama’ah Shalat Id rahimakumullah!
Marilah kita jadikan momentum Ramadhan dan Idul Fitri ini untuk melakukan pencerahan diri membangun pribadi yang utama dalam basis takwa. Mari kita jadikan sepanjang bulan ke depan sebagai Ramadhan dan Idul Fitri untuk menjadikan diri kita selaku manusia yang bersih lahir-batin, gemar beribadah, berlomba-lomba dalam amal shalih, dan tampil menjadi manusia yang bertakwa di dunia nyata. Nabi bersabda yang artinya: ”Sekiranya manusia mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadhan, tentulah mereka mengharap-harap supaya Ramadhan berlaku sepanjang tahun,” (HR Ibn Abdi Dun-ya).
Kita harus istiqamah untuk terus menanam benih-benih kebaikan dalam hidup yang tidak terlalu lama ini, sehingga ketika menghadap keharibaan Allah sudah berbekal amal shalih dan menutup lembaran hidup ini dengan husnul khatimah. Kita tidak tahu kapan Allah mengambil ajal kita, bahkan siapa tahu tahun depan di antara kita sudah tidak bisa lagi beridul fitri di lapangan ini, karena hidup dan mati kita sepenuhnya di sisi Allah. Jangan menunda-nuda waktu untuk berbuat kebaikan karena kita sungguh tidak tahu ambang batas hidup ini. Karena itu jadikan sepanjang hidup ini penuh arti dengan Islam, Iman, Ihsan, dan Takwa yang sejati sehingga ketika ajal tiba semuanya telah siap dan berujung di maqom husnul khatimah.
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah dengan khusyuk dan penuh pengharapan, semoga seluruh amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini semakin bermakna dan diterima di sisi Allah, serta di Hari Akhir nanti menjadi jalan meraih surga jannatun na’im dalam rengkuhan Ridha dan Fadhilah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Marilah di akhir Khutbah ini kita bermunajat kepada Allah SwT agar kita selalu berada di jalan-Nya dan meraih ridha serta karunia-Nya.•
————————————
DR H Haedar Nashir, Msi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.