Maslahah Mursalah Sebagai Instrumen Penetapan dan Perubahan Hukum

Maslahah Mursalah Sebagai Instrumen Penetapan dan Perubahan Hukum

suara muhammadiyah nomor 05 tahun 2014 (1-15 maret) halaman 22-23

Muhammadiyah adalah persyarikatan dengan tiga identitas, yaitu sebagai gerakan islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan tajdid. Tiga identitas tersebut memberikan bobot pada setiap aktivitas muhammadiyah, termasuk dalam hukum islam. Muhammadiyah telah memiliki majelis-majelis sebagai kelengkapan struktur horizontalnya. Salah satunya adalah majelis tarjih yang memiliki otoritas tertinggi dalam memecahkan persoalan-persoalan keagamaan, termasuk dalam memecahkan masalah baru yang dihadapi warga muhammadiyah yang jumlahnya puluhan juta dan terdistribusi di berbagai kota di indonesia.

Baca juga: Fiqih Kiai Dahlan Vs Fiqih Muhammadiyah?

Gagasan pembentukan majelis tarjih muhammadiyah pertama kali muncul pada kongres muhammadiyah ke-16 di pekalongan jawa tengah. Pengusung gagasan tersebut adalah mas mansur, yang saat itu sebagai ketua pimpinan wilayah muhammadiyah jawa timur. Pada kongres muhammadiyah ke 17 di Yogyakarta, ditetapkan struktur kepengurusan majelis tarjih beserta qaidah tarjih atau manhaj tarjih. Tulisan singkat ini akan menjelaskan tentang salah satu dari manhaj tarjih. Yaitu maslahah mursalah sebagai teknik penetapan hukum islam.

Kedudukan Maslahah Mursalah Dalam Usul Fiqih

Dalam studi usul fiqih dikenal dua istilah, yaitu pertama, al-adillah asy-syar‘iyyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan dalil hukum. Kedua, masadir al-ahkam yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan sumber hukum islam. Menurut Amir Syarifuddin (1990: 20-21), kedua istilah ini memiliki makna yang tidak sinonim. Sumber hukum memiliki makna suatu wadah yang dari padanya ditemukan dan ditimba norma hukum. Sedangkan dalil hukum memiliki makna sesuatu yang menunjuki dan membawa kita dalam menemukan hukum. Berdasarkan pengertian ini, amir syarifuddin menyimpulkan bahwa sumber hukum itu hanya al-qur’an dan as-sunnah al-maqbûlah, sedangkan dalil hukum itu bisa al-qur’an, as-sunnah al-maqbûlah, qiyas, ijma‘, maslahah mursalah, istihsan, syar‘u man qablana, `urf dan seterusnya.

Dalam studi ilmu usul fiqih, maslahah mursalah merupakan salah satu dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-qur’an dan as-sunnah al-maqbulah, baik diterima maupun ditolak. Tampaknya, para ulama usul fiqih sendiri belum bersepakat secara bulat keabsahan maslahah mursalah sebagai dalil penetapan hukum (al-adillah al-mukhtalaf fîhâ).

Majelis tarjih termasuk kelompok yang berpandangan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil hukum atau teknik penetapan fatwa. Hal ini terlihat pada manhaj tarjih hasil munas tarjih tahun 2000. Berbeda dengan para ulama usul fiqih pada umumnya, manhaj tarjih tidak menyebut maslahah mursalah sebagai dalil hukum tetapi sebagai teknik penetapan hukum (fatwa). Seperti disebutkan dalam manhaj tarjih, teknik penetapan hukum (fatwa) itu ada empat, yaitu ijma’, qiyas, maslahah mursalah, dan ‘urf. Tidak ada penjelasan mengapa manhaj tarjih hanya menyebut empat saja. Istihsan, istishab, syar’u man qablana, dan seterusnya tidak disebut oleh manhaj tarjih sebagai teknik penetapan hukum (fatwa), sebagaimana kajian-kajian dalam studi usul fiqih.

 

Pengalaman majelis tarjih

Manhaj tarjih dalam penetapan fatwanya, di samping menyebut teknik penetapan fatwa, juga menyebut istilah sumber hukum islam, metode, dan pendekatan. Menurut majelis tarjih, sumber hukum itu hanya ada dua, yaitu al-qur’an dan as-sunnah al-maqbulah. Adapun metode yang dipakai oleh majelis tarjih adalah metode bayan, tahlili, dan istislah. Pendekatan yang digunakan majelis tarjih untuk masalah ijtihadiyyah adalah at-tafsir al-ijtima‘i al-mu‘asir (hermenetik), at-tarkhi, as-susiuluj, dan al-antrubuluj.

Maslahah mursalah sebagai teknik penetapan hukum oleh majelis tarjih dipergunakan berkaitan dengan munculnya permasalahan baru di indonesia sebagai akibat langsung dari adanya perubahan masyarakat muslim indonesia dari waktu ke waktu. Penyelesaian persoalan baru yang kompleks ini ada yang tidak termaktub di dalam kedua sumber utama ajaran islam, tetapi ia juga tidak ada konfirmasi diterima maupun ditolak. Dalam keadaan demikian, maka maslahah mursalah sebagai salah satu pilihan teknik penetapan hukum merupakan sebuah keniscayaan, khususnya bagi muhammadiyah. Dengan kata lain, seperti para ulama lainnya, majelis tarjih memakai maslahah mursalah untuk kasus-kasus hukum yang jawabannya secara eksplisit tidak termaktub di dalam al-qur’an dan as-sunnah al-maqbulah.

Dalam mengaplikasikan maslahah mursalah sebagai teknik penetapan hukum, majelis tarjih mempertimbangkan kemaslahatan yang dibawa oleh persoalan baru di indonesia tersebut. Meskipun demikian, tidak semua kemaslahatan dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan dengan maslahah mursalah. Oleh karena itu, diperlukan kriteria kemaslahatan yang dapat diterima sebagai pertimbangan. Menurut majelis tarjih, sebagaimana dalam fatwa-fatwanya, kriteria kemaslahatan yang dapat diterima adalah kemaslahatan yang mengandung kemaslahatan darûri dan haji. Di samping itu, menurut majelis tarjih, kemaslahatan darûri dan hâji tersebut berkaitan dengan muamalah.

Menurut majelis tarjih, cara menentukan kemaslahatan untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum dengan teknik maslahah mursalah dalam fatwa-fatwa tarjih adalah (1) memerhatikan kesesuaian kemaslahatan dengan tujuan hukum islam atau maqasid syariah, (2) memperhatikan niat (tujuan) dan hasil akhir dari suatu perbuatan atau peristiwa, yang memberikan manfaat dan menghindarkan dari mafsadah atau kesulitan, baik kepada diri pelakunya maupun orang lain, (3) mengedepankan prinsip keseimbangan bila suatu masalah itu dihadapkan pada dua orang atau lebih sebagai bagian dari kemaslahatan. Keseimbangan sebagai bentuk kemaslahatan di sini maksudnya adalah memosisikan keduanya dalam posisi setara. Keseimbangan ini merupakan bentuk implementasi keadilan, (4) kemaslahatan yang ada pada suatu masalah adalah kemaslahatan yang menghadirkan kepastian dan ketertiban.

Penentuan kemaslahatan sebagaimana pada penggunaan maslahah mursalah sebagai teknik penetapan hukum dalam fatwa-fatwa tarjih merupakan wujud dari misi didirikannya muhammadiyah sebagai gerakan tajdid di indonesia. Misi tajdid muhammadiyah tersebut adalah misi keindonesiaan, kemajuan bangsa, dan perkembangan ilmu. Ketiga misi ini merupakan sebuah upaya memfungsikan fatwa-fatwa tarjih sebagai kontrol sosial dan rekayasa sosial terhadap kehidupan warga muhammadiyah dan umat islam pada umumnya yang hidup di negara kesatuan republik indonesia.

Dari fatwa-fatwa yang perumusannya menggunakan maslahah mursalah dapat disimpulkan bahwa pembentukan majelis tarjih dimaksudkan untuk dapat merumuskan ajaran islam yang selanjutnya dapat digunakan sebagai panduan berislam bagi warga muhammadiyah di negara republik indonesia dengan tata peraturan perundang-undangan yang dimilikinya. Fatwa-fatwa tarjih merupakan produk majelis tarjih yang perumusan-perumusannya telah menjadikan masyarakat muslim indonesia sebagai bagian penting dari rumusan-rumusan fatwa-fatwanya. Hal ini dilakukan karena fatwa-fatwa tarjih merupakan panduan bagi warga muhammadiyah dalam menjalani kehidupan mereka di negara republik indonesia.

Fatwa tarjih harus diletakkan dalam konteks muhammadiyah sebagai organisasi yang beridentitas pembaruan. Misi muhammadiyah sebagai gerakan adalah menjadikan islam sebagai pengawal suatu masyarakat yang terus berubah. Islam harus selalu dihidupkan tanpa henti di tengah masyarakat yang berubah itu. Bila dihubungkan dengan fatwa tarjih, maka fatwa tarjih di tengah perubahan sosial seperti dijelaskan di muka, harus dapat menjadi kontrol sosial dan alat pengubah masyarakat (tool of social engineering). Dengan posisi seperti ini, fatwa tarjih sebagai bagian dari aktivitas muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan diharapkan dapat memiliki arti penting di tengah perubahan sosial di indonesia sehingga masyarakat dapat menuju arah yang positif akibat dari perubahan sosial itu sendiri.

Fatwa tarjih yang memasukkan unsur keindonesiaan ini dimaksudkan agar fatwa tarjih dapat dijadikan sebagai panduan bagi warga muhammadiyah dalam menjalani keislamannya. Dengan cara demikian, warga muhammadiyah dapat menyatukan keislaman dan keindonesiaan. Fatwa tarjih dengan demikian dapat menjadi bagian dari kemajuan bangsa indonesia itu sendiri yang berbasiskan ajaran islam. Begitu juga dengan memasukkan unsur keindonesiaan, tidak ada lagi konflik antara keislaman di satu pihak dan di pihak lain sebagai warga negara republik indonesia.•

Imron Rosyadi, Staf Pengajar Fai UMS dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid  PWM Jawa Tengah

suara muhammadiyah nomor 05 tahun 2014 (1-15 maret) halaman 22-23

Exit mobile version