Makna Tajdid, Manhaj Tarjih, dan Produk Hukum Majelis Tarjih

Makna Tajdid, Manhaj Tarjih, dan Produk Hukum Majelis Tarjih

suara muhammadiyah nomor 05 tahun 2014 (1-15 maret) halaman 18-19

Makna Tajdid, Manhaj Tarjih, dan Produk Hukum Majelis Tarjih

Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid

Tajdid bagi Muhammadiyah merujuk pada dua pengertian sekaligus. Pertama tajdid bermakna dinamisasi. Kedua, tajdid bermakna purifikasi, pemurnian. Ketika Kiai Dahlan mengoreksi arah kiblat Masjid Gedhe, Kiai sedang lakukan tajdid dalam dua pengertiannya sekaligus. Al-Qur’an dan Hadits mengajarkan bahwa arah wadag shalat kaum Muslimin mesti menuju ke kiblat Baitullah. Untuk mengaplikasikan ajaran Islam itu Kiai gunakan pengetahuan “baru’ yang jarang digunakan oleh umat Islam saat itu.

Baca juga: Fiqih Kiai Dahlan Vs Fiqih Muhammadiyah?

Demikianlah Kiai Dahlan memproduksi temuan-temuan tajdid lainnya. Didirikannya organisasi Perempuan bernama Aisyiyah, Hizbul Wathan, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem. Bersamaan dengan itu Kiai pun melakukan purifikasi praktik umat Islam.Sebagaimana ditegaskan salah satu muridnya bernama KRH Hadjid (2008) bahwa Kiai berhasil menghilangkan praktik-praktik umat yang tidak diajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kiai memberantas selamatan waktu seorang ibu mengandung tujuh bulan, bacaan mauludan dengan memukul rebana ketika membaca “asyaraqal badru”, shadaqah bernama surtanah saat orang meninggal, selamatan tiga hari, baca tahlil tiap malam ketika orang meninggal sampai 7 hari, selamatan 40 hari, 100 hari, setahun, seribu hari (nyewu), serta bacaan tahlil 70.000 untuk menebus dosa, haul (ulang tahun kematian) dengan membaca tahlil, perayaan 10 asyura dan mengadakan padusan (mandi) serta pergi ke kuburan untuk kirim doa, upacara nishfu sya’ban dengan bacaan-bacaan yang tidak diajarkan as-Sunah, taqlid kepada ulama tanpa tahu dalil-dalilnya, bacaan-bacaan tahlil Qur’an untuk dihadiahkan kepada ahli kubur, mengadakan ziarah kubur pada bulan sya’ban, membaca shalawat khusus tiap malam Jum’at dengan gunakan rebana, jimat yang dipakaikan kepada anak-anak, minta keselamatan kepada kuburan dan tawassul kepada Nabi saw.

Disamping praktik-praktik tersebut diatas, KHR Hadjid pun menyebutkan bahwa Kiai Dahlan mengoreksi praktik umat kala itu yang terbiasa tunaikan shalat qabliyah dua raka’at sebelum shalat Jum’at serta adzan dua kali sebelum shalat Jum’at (Hadjid, 2008:101).

Majelis Tarjih Muhammadiyah Ambil-alih Peran Tajdid

Kenyataan bahwa Kiai Dahlan masih tunaikan shalat tarawih 23 rakaat, serta tunaikan qunut dalam shalat subuh sama sekali tidak mengurangi virus tajdid yang ditebarnya. Boleh jadi Kiai belum melihat alasan-alasan yang dipandangnya lebih kuat sebagaimana koreksinya untuk shalat dua rakaat sebelum shalat Jum’at dan adzan Jumat dua kali. Sepeninggal Kiai Dahlan Muhammadiyah terus berkembang ke berbagai daerah dengan penambahan anggota-anggotanya.

Bersamaan dengan itu timbul perdebatan di kalangan warga Persyarikatan mana diantara praktik ibadah yang dilakukan umat yang lebih mendekati kebenaran, disertai adanya beberapa faham gerakan yang menyusupi Muhammadiyah. Dalam konteks historis seperti itulah Majelis Tarjih Muhammadiyah didirikan pada tahun 1927. Sejak saat itulah peran tajdid yang disemaikan Kiai Dahlan diambil alih oleh Majelis Tarjih yang ketua pertamanya KH Mas Mansur.

Sejak saat itu Majelis Tarjih, menghasilkan sekian produk hukum yang pada awalnya lebih banyak gunakan spirirt tajdid dalam makna purifikasi. Salah satu produk hukum itu adalah tuntunan shalat malam di bulan ramadlan yang lebih dikenal dengan shalat tarawih yang berjumlah 11 raka’at serta tuntunan untuk tidak tunaikan qunut pada shalat Subuh.

Demikianlah hingga saat ini Majelis Tarjih telah menghasilkan sekian banyak produk putusan serta fatwa yang umumnya dirujuk sebagai tuntunan warga Muhammadiyah serta kaum Muslimin yang bersimpati pada Muhammadiyah. Dari sekian putusan itu ada yang terhimpun dalam sebuh kitab yang lebih dikenal dengan Himpunan Putusan Tarjih dan lebih banyak lagi yang berupa tuntunan yang bersifat tematis yang ditulis dalam satu buku tersendiri seperti al-Amwal fil Islam, Tuntunan Keluarga Sakinah, Tuntunan Adabul Mar’ah fil Islam, Bayi Tabung dan Transpantasi, Nikah antar Agama, Hukum Aborsi, Koperasi Simpan Pinjam, Hukum Zakat Profesi dan lain sebaganya.

Tidak sedikit yang salah faham tentang kata tarjih yang digunakan oleh Majelis Tarjih. Dalam Muhammadiyah, tarjih tidak hanya dimaknai sebagai sekedar kegiatan memilih suatu pendapat yang dipandang lebih kuat. Tarjih dalam Muhammadiyah mempunyai makna yang lebih luas. Sehingga kata tarjih dalam Muhammadiyah identik dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai: (1) “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.” (2) Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam (Syamsul Anwar, 2010).

Dalam kegiatan bertarjih itu para ulama Tarjih gunakan prosedur dan tahap pikir yang disebut sebagai Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Prosedur ini menghimpun unsur-unsur yang meliputi wawasan, semangat, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Dengan demikian Manhaj Tarjih dapat dikatakan sebagai “kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis an sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah…” (Syamsul Anwar, 2010).

Manhaj Tarjih dari tahun ke tahun mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada masa-masa awal, Majelis Tajih menghasilkan prodruk hukumnya lebih banyak memanfaatkan pendekatan tarjih. Ia itu mencari dalil yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut Majelis Tarjih gunakan berbagai pendekatan yang kemudian diklasifikasikan sebagai model ijtihad bayani, qiyasi serta istishlahi. Model ini pun kemudian diperkaya lagi dengan model ijtihad bayani, burhani serta ‘irfani. Aplikasi model-model ijtihad ini dapat diperkaya dengan berbagai temuan keilmuan modern terkait sosiologi, antropologi dan lain sebagainya yang sejalan dengan nafas Islam.

Memperhatikan perjalanan Majelis Tarjih serta produk hukum yang dihasilkannya, tidak menutup kemungkinan Manhaj Tarjih ini akan terus berkembang. Mengantisipasi hal sedemikian, Majelis Tarjih telah membuat semacam ancangan untuk pengembangan manhajnya dengan meletakkan prinisp-prinsip pengembangannya pada tiga ranah yaitu: (1) al-muraa’at (konservasi) artinya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan persoalan kehidupan. Ini dilakukan dengan upaya furifikasi atau pemurnian ajaran Islam.

Prinsip ini dipraktikkan pada bidang akidah dan ibadah; (2) at-tahdits (modernisasi) artinya upaya pelaksanaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual umat sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ini dilakukan dengan melakukan reaktualisasi, reinterpretasi dan revitalisasi ajaran Islam; (3) al-ibtikar (kreasi), penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti persoalan kekinian. Ini dilakukan dengan menemukan dan menerima nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan nilai Islam melalui seleksi yang ketat dan komprehensif (2000).

Menarik untuk dituliskan bahwa seringkali praktik ijtihad para ulama Muhammadiyah lebih mendahului prosedur manhaj tarjih Muhammadiyah. Model ijtihad irfani diputuskan tahun 2000 di Jakarta sementara produk hukum yang bernuansa irfani sudah dihasilkan ulama Muhammadiyah jauh beberapa tahun sebelumnya. Misalnya, fatwa Tarjih tentang hukum poligami. Para ulama Muhammadiyah mengakui adanya nas-nas Al-Qur’an berkaitan dengan poligami. Namun demikian, merekapun menegaskan bahwa dalam berkeluarga ada berbagai kewajiban yang mesti ditunaikan oleh suami. Karena itu difatwakan bahwa meskipun ada kebolehan untuk lakukan poligami, tetapi memperhatikan berbagai kewajiban yang tidak mudah ditunaikan itu kepada suami dituntunkan untuk mempertimbangkan kembali pilihannya untuk lakukan poligami (1992).

Mengikuti perjalanan waktu, saat ini sering terdengar dua tuduhan yang dialamatkan kepada Majelis Tarjih. Pertama tuduhan liberal, kedua tudingan terlalu ke kanan. Tuduhan kanan, antara lain dengan merujukan pada fatwa Tarjih tentang keharaman rokok yang dihasilkan pada awal tahun 2010. Tentu saja cap kanan kepada Majelis Tarjih itu tidak tepat. Itu tidak saja karena hanya menggunakan satu misal untuk melabeli Majelis Tarjih lebih dari itu cap kanan dengan alasan keharaman rokok sama sekali tidak berdasar.

Pembacaan secara seksama terhadap manhaj tarjih yang digunakan dalam menghasilkan fatwa keharaman rokok, memperlihatkan bahwa Majelis Tarjih sangat teliti dalam merancang produk hukum. Majelis tidak menghendaki persoalan rokok diselesaikan dengan hanya merakit alasan-alasan ushuliyah belaka. Lebih dari itu Majelis menghendaki masalah hukum rokok mesti dituntaskan dengan pendekatan yang komprehensif. Disini Majelis gunakan dua model ijtihad bayani dan burhani secara sekaligus. Ijtihad bayani ditunjukkan dengan perujukan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif.

Sedangkan ijtihad burhani ditunjukan oleh penggunaan ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi serta keilmuan aktivis yang mengkonfirmasi kebenaran dalil-dalil nash. Sementara memperhatikan misi dari fatwa ini diketahui bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah hendak mengajak warga Muhammadiyah khususnya, dan umat Islam pada umumnya untuk hidup bersih dari berbagai hal yang dapat melemahkan jiwa dan raga. Sedemikian rupa sehingga berpotensi untuk melemahkan generasi yang dicitakan nusa bangsa dan agama.

Pada tahun 2010 pada Munasnya yang ke 27 di Malang, Majelis Tarjih menghasilkan dua draf putusan Fiqih al-Ma’un serta Fiqih Perempuan. Dua rancangan putusan tersebut sama sekali jauh dari ciri-ciri kanan. Yang pertama mengusung spirit inklusivisme Islam yang menjadi “tenda” untuk semua yang diajarkan agama ini. Sedangkan yang kedua membawa pesan Islam yang ramah terhadap perempuan. Draf putusan fikih perempuan di atas sesungguhnya merupakan pelengkap tuntunan tentang Etika Perempuan dalam Islam yang dikenal dengan nama Adabul Mar’ah fil Islam yang dihasilkan di Garut Jawa Barat tahun 1976. Adabul Mar’ah fil Islam secara filosofis menegaskan bahwa perempuan sebagaimana halnya laki-laki memiliki kewajiban dan hak yang setara di depan Allah dan karenanya pula memiliki kesetaraan untuk berperan pada semua lapangan kehidupan.

Alaa kulli hal, harapan dari semua warga Persyarikatan tertuju kepada Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk tetap mengusung gerak tajdid Muhammadiyah dengan menghasilkan berbagai produk tuntunan yang berkemajuan. Semoga.  Wallahu A’lam bish-Shawab•

Wawan Gunawan Abdul Wahid, Alumni Angkatan Pertama PP Darul Arqam Muhammadiyah (1978-1984) Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

suara muhammadiyah nomor 05 tahun 2014 (1-15 maret) halaman 18-19

Exit mobile version