Cahaya Cinta di Arul Kumer (Komitmen)

Cahaya Cinta di Arul Kumer (Komitmen)

Mozaik Ramadhan  Nyak Arif Fadhilah Syah

Bagian 2 : K O M I T M E N

Comittment means staying loyal to what yau said you were going to do long after the mood you said it in has left you

“Bang, dimana kita berbuka ni ?, di Bireun tanggung, kalau lanjut kita tidak sampai ke Takengon”

“Lanjut saja, mudah-mudahan kita bisa sampai di Simpang Balik pas berbuka”

“Oke bang”

“Oh ya bang, kapan ada waktu abang ceramah Ramadhan ke Lhong seperti tahun lalu, bisa kan ?”

“Insyaa Allah die, nanti abang lihat dulu jadwal Ramadhan abang”

“Fatih ikutlah yanda kalau ke kampung Om Saidi”

“Fatan ikut jugalah, kita makan durian seperti dulu, iya kan Om Saidi”

“Hahahaha, di kebun Om Saidi belum berbuah duriannya, tapi tenang saja nanti kita cari, Fatan senang durian ya ?”.

“Iya”. Fatan menjawab dengan cepat.

Memang durian Lhong salah satu durian yang terkenal di Aceh Besar. Selain bijinya yang kecil, durian Lhong kesohor manis isinya.

“Yanda di Takengon nanti kita cari durian dong”

“Fatan, Takengon itu terkenal kopinya nak, entar kita ngopi yang asyik aja di sana, oke ?”

“Oke Yanda”

Mobil melaju lambat merayapi lembah dan gunung. Hujan turun seperti marah, menumpahkan berdebit-debet air dari perut langit. Pelan-pelan kabutpun mulai turun menyentuh bumi menutup aspal jalan. Tampak Saidi berhati-hati melajukan kendaraan, Memang masalahnya bukan pada jalan yang licin, karena jalan licin itu biasanya pada permukaan aspal yang tidak merata basah oleh air. Genangan air dan hujan lebat mengaburkan pandangan, hingga tidak dapat dipastikan secara persis batas dan kondisi jalan.

Fatih dan Fatan yang sepanjang jalan tadi tidur, kini membulatkan matanya. Ini perjalanan mereka yang kedua ke Takengon setelah tahun 2010. Tentu perjalanan kali ini lebih berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kali ini mereka seperti musafir yang melewati titian langkah, menyelusuri jejak tapak nek Abahnya. Mereka membuat tapak-tapak baru, meski tapak kaki dan langkah mereka kecil, namun cukuplah menggoreskan pengalaman spritualitas untuk anak usia mereka.

“Yanda, kita nginap di hotel pinggir danau laut tawar saja seperti dulu, apa nama hotelnya yanda ?, Fatih lupa”. Tiba-tiba saja Fatih mengusik lamunan ayahnya, mata kecil itu kini penuh harap menanti jawaban.

“Hotel Renggali”

“Ya hotel Renggali, asyik…., entar kita foto-foto disana, iya kan dek ?”

“Kita tidak akan menginap di Renggali nak, kita menginap di Arul Kumer, Fatih”

“Cantik hotelnya yanda ?”. Tampak Saidi tersenyum simpul mendengar pertanyaan Fatan.

“Kita lihat saja nanti ya”

“Apa nama hotelnya yanda ?”

“Taqwa namanya, Fatan”

“Kok nama hotelnya seperti nama masjid ?”. Nyak Arief dan Saidi hampir tak sanggup menahan tawa mereka.

“Fatih tahu, kita nanti memang tidur di masjid, iya yanda kan ?”

“Betul yanda ?”, tanya Fatan penasaran.

“Sekarang yanda tanya, menurut Fatan mana lebih mulia hotel Renggali dengan masjid “

“Masjidlah”

“Kenapa Fatan jawab masjid ?”

“Masjid kan tempat orang shalat”

“Nah, tiga malam lho kita tidur di masjid, tidak di hotel Renggali, apa Fatan kecewa ?”

“Tidak”

“Kenapa tidak ?”

“Fatan maunya tidur sama yanda, kalau yanda suka tidur di masjid, Fatan suka juga, lagi pula Fatan belum pernah tidur di masjid”

“Oh, kini Fatih tahu kenapa yanda bawa bantal, guling dan selimut”

“Kenapa memang ?”

“Di masjid pasti tidak ada bantal, iya kan ?”

“Hahahaha, kita lihat saja nanti”

Perjalanan ini meskipun lambat, tapi terasa asyik-asyik saja, karena Fatih dan Fatan membuat semua menjadi berwarna.

“Bang, sepertinya kita tidak sampai di Simpang Balik, serune tanda berbuka sekitar 10 menit lagi”.

“Kita berbuka di Ronga saja, setelah melewati lembah di depan, kita akan bertemu kota kecamatan”

“Oke bang”

Akhirnya mereka pun berbuka di Rongga-ronga, di warung makan sederhana, persis di depan masjid Ronga. Setelah meneguk segelas teh hangat dan memakan beberapa potong kue, Fatan mengeluh ingin ke toilet. Sayang, di warung itu toiletnya sedang diperbaiki. Lalu Nyak Arief memutuskan ke masjid, kelihatannya Fatan begitu kebelet.

Oppppps…di masjid pun toiletnya tidak berfungsi, tersumbat, kotor dan tidak ada lampu penerangan.

Sejenak Nyak Arief bingung, dia tidak habis mengerti mengapa masjid sebesar ini, fasilitas MCK tidak terjaga dengan baik. Lalu tiba-tiba Nyak Arief melihat saluran got yang airnya mengalir deras, “wah…tidak ada pilihan, disinilah Fatan menuntaskan hajatnya”, batinnya dalam hati. Dia tidak sempat lagi berpikir mengapa jamaah dan pengurus masjid kurang memiliki komitmen terhadap kebesihan MCK, sungguh sangat disayang masjid seindah ini…..

“Kini Fatan sudah beres, mudah-mudah Fatih tidak kebelet juga”, dia berujar sendiri. Nyak Arief sadar, suka atau tidak memang inilah sebuah konsekwensi bila mengajak anak bepergian, kita harus rela direpotin, “hahahaha bukankah itu juga komitmen ?!”. Saat mereka telah berwudhu dan akan memasuki masjid, tiba-tiba muncul dihadapan mereka seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahunan.

“Pak, dimana WC yang bisa digunakan ?” .

Belum sempat Nyak Arief menjawab, orang tersebut telah berlalu dari hadapannya. Dia tergesa-gesa menuju sebuah bangunan yang bertuliskan toilet. Kelihatan orang itu begitu tersiksa. Masyaa Allah, dia menuju bangunan tanpa penerangan, dimana WC nya tidak lagi berfungsi. Kami tadi sudah memeriksa semua.

Nyak Arief mengajak Fatan segera memasuki masjid, dia tidak mungkin berpikir apa yang harus dilakukan oleh lelaki itu. Peristiwa konyol ini membuat dia tidak sanggup menahan ketawanya.

“Yang sabar pak ya…, mudah-mudahan ada jalan keluar”, dia membanyol miris sendiri dalam hatinya.

“Kenapa abang tertawa ?”. Tiba-tiba Saidi muncul di depan mereka berdua. Nyak Arief menceritakan peristiwa itu sambil menahan tawanya.

“Abang tidak sanggup membayangkan jika lelaki itu melakukan hal yang serupa seperti Fatan tadi”

“Maksud abang, melepas hajat di selokan melintang sisi kiri masjid itu ? ”

“Iya”

“hahahhahahha”. Akhirnya meledaklah tawa Saidi. Fatanpun ikut tertawa.

“Kenapa Fatan ketawa”

“Luculah yanda, kalau Fatan kan masih kecil ‘e’ek di got itu, tapi kalau bapak itu malu dong”.

“Hahahahahah”. Saidi tertawa dan cepat berlalu. Dia menekan perutnya, seperti ingin menahan agar cacing-cacing perutnya jangan ikut tertawa, itu meledek namanya.

oooOooo

 

 

“Yanda, Fatih tambah boleh ?’

“Boleh, tambah saja jika masih ingin”

“Fatan mau tambah juga ?”. Saidi bertanya kepada Fatan yang tampak ragu.

“Boleh yanda ?”

“Boleh, kok nanya sih?”

“Fatan takut uang yanda habis, nanti mahal bayarnya”

“Hahahah, santai saja sana ambil sendiri… !, Fatan senang sambal udangnya kan?”

“Iya”

Fatan dan Fatih tidak pernah makan lebih dari satu piring baik selama berbuka maupun sahur. Mereka memang tidak biasa makan banyak, bahkan mereka sangat susah makan. Berbagai vitamin penambah nafsu makan telah pernah diberikan. Keadaan seperti ini pernah dikonsultasikan kepada dokter. Menurut dokter, keadaan Fatih dan Fatan tidak perlu dirisaukan, normal-normal saja. Memang ada anak yang demikian, yang penting mereka tetap makan secara teratur meskipun hanya satu piring saja.

“Bang, memang enak masakan warung ini”.

“Iya die, asam keeng nya maknyus banget”

“Tahu gak die, kenapa masakannya enak ?”

“Karena cheep nya pintar masak”

“Saidi, sekarang apapun sudah terbuka, resep-resep masakan pun sudah bisa dimiliki siapa saja, lalu mengapa tetap ada cita rasa yang berbeda enaknya ?”

“Mungkin Pengalaman dan yang makan pas lapar-laparnya tu bang, pasti deh apapun makanannya jadi enak”

“Hahaha, benar juga tu”

“Menurut abang kenapa ?”

“Banyak sih faktor penyebabnya, tapi menurut abang yang paling penting itu karena pemilik warungnya punya komitmen”

“Maksudnya gimana bang ?”

“Begini die, jika pemilik atau pengusaha warung nasi ini tidak punya komitmen yang baik, dia tidak memiliki etos dan profesional dalam mengembangkan usahanya”.

“Jika itu semua tidak ada maka kualitas pelayanan dan hasil kerjanya pun tidak memuaskan orang yang makan disini”

“Coba Saidi perhatikan bagaimana mereka melayani kita, ketika masuk ke warung ini tadi”

“Iya bang, tadi mereka begitu ramah menyambut kita”.

“Saya rasakan keramahan mereka itu tulus, bukan dibuat-buat, sepertinya mereka mengandalkan konsep keramahan kekeluargaan, bahkan mereka begitu bersahaja menyampaikan kekurangan warungnya saat meminta maaf kalau toilet untuk sementara tidak dapat digunakan. Iya kan ?

“Itulah namanya komitmen”

“Pada hal jika kita perhatikan sajian menunya tidak terlalu banyak variasi, tapi rasa bumbu ikan bakarnya ini bang…wuuih mantap”. Saidi mengangguk-angguk kepalanya sembari menyodorkan ikan bakar ke hadapan Nyak Arief.

“Coba bang, rasakan sedikit”

“Ga apa-apa die”

“Ayo mainkan bang, mainkan…., gaya medan saja kita ni”. Mulailah kumat koplaknya Saidi, Nyak Arief pun ikut terpancing.

“Akh segan awak ni”

“Ayolah bang…!”

“Bah…! kau paksa pula, jadi… boleh ku sosor sepukul dua pukul ikan bakar kau”

“Ambil bang,,,! Suka-suka abang lah”

Tampak Nyak Arief mulai asyik mencubit ikan bakar Saidi, sambil berujar.

“Akh ….Alaa mak jang, mati kita…eeeeenaknya”

“Agh…. coba kau pesan satu ekor lagi die, tanggung kali ini”

Hahahaha, kami tertawa begitu asyiknya, Fatan dan Fatin ikut juga tertawa hingga beberapa pasang mata memandang kami, mereka juga ikut tersenyum.

Buka puasa hari itu menjadi buka puasa yang paling berkesan, memang jika hati sedang senang semua menjadi terasa indah, apapun kekurangan jadi tidak lagi menjadi masalah. Setelah menyelesaikan pembayaran dan betapa kagetnya, kenikmaan dan kebahagian itu hanya kami tebus Rp. 63.000,- .

Senyum Saidi masih terus tersungging di bibirnya saat mobil mulai bergerak menembus gelap malam menuju kota Takengon. Nyak Arief enggan bertanya kenapa Saidi tersenyum, dia percaya mekar bunga di hati Saidi mulai melihat bertaburnya pernik-pernik cahaya cinta. Bahwa hidup ini akan selalu terasa indah, bukan karena seberapa banyak seseuatu yang kita miliki, tetapi seberapa ikhlas kita melepaskan.

“Aku mulai menyukai Arul Kumer”, Nyak Arief membatin kuat, hingga dia merasakan cahaya cinta itu merambat perlahan menuju Arul Kumer. Saat memasuki kota Takengon, mereka berputar-putar kota memilih cafe yang nyaman untuk minum kopi khas cita rasa Takengon. Akhirnya kami memilih warung kopi yang suasananya menampilkan gaya Texas, dengan ornamen serba kayu. Dari kursi, meja, dinding dan pembagian ruangnya bahkan gantungan lampu penerangan ruanganpun dari kayu. Di beberapa sudut terlihat sepeda ontel kuno yang sengaja diparkirkan untuk membuat suasana menjadi tempo dulu dan berbau cowboy, begitu eksotik. Tampak pengunjung betah dan menikmati suasana warung tersebut.

“Tentu menurut abang pemilik warung ini memiliki komitmen dalam usahanya “. Saidi mengomentari air wajah kekaguman dan kepuasan Nyak Arief setelah menyerumput seteguk kecil kopi americana black, dan masih menghisap secuil gula merah.

“Iya die, bukankah kita sudah putar-putar tadi, dan sengat jelas tastenya berbeda, iya kan ?”

“Die, dulu ada istilah “kopi Gayo, Sidikalang punya nama”. “Dataran Gayo penghasil kopi unggul, tapi kopi Sidikalang yang lebih dikenal di Indonesia, bahkan manca negara”

“Alhamdulillah bang, sekarang kita boleh bangga kopi dataran Gayo Aceh mulai punya braind internasional”

“Iya, itu harus kita akui karena adanya komitmen banyak pihak, pengusaha, petani dan tentu pemerintah dalam mempromosikan kopi Gayo”

“Mungkin saya salah bang, keadaan ini mestinya harus mengangkat tingkat kesejateraan masyarakat, khususnya petani kopi Gayo”

“Wah, kalau masalah ini kita harus berdiskusi dengan Yamin, pengamat ekonomi muda Aceh, tentu dia lebih tajam analisisnya, mudah-mudahan dia bisa hadir di Arul Kumer hari Kamis nanti, dia abang minta manyampaikan materi managemen organisasi”

“Iya bang, saya lihat dua bulan terakhir ini Yamin sangat produktif menulis di Media Serambi, secara tidak langsung mengangkat almamater kampus Unmuha, khususnya fakultas Ekonomi”.

“Mudah-mudahan dia cepat mengkelarkan studi masternya di USU, tentu sangat baik bagi persyarikatan Muhammadiyah Aceh, bila semakin banyak kader menyelesaikan studi lanjut”

“Ayo kita lanjut perjalanan kita bang, insyaa Allah 1 jam lagi kita sampai ke Arul Kumer”

“Oke, ayo nak ….kita let go”

“Fatan..!, let go kata yanda”. Fatih mengajak adiknya segera berangkat, mereka dari tadi asyik melihat sepeda kuno yang terpajang di salah satu tiang di sudut ruang cafe.

ooOoo

 

“Saidi..”

“Ya bang”

“Muhammadiyah Aceh sebenarnya memiliki banyak kader muda yang petensial dalam berbagai bidang, baik kader ulama, organisatoris maupun akademisi”, kekuatan ini harus mampu digerakkan. “Hanya butuh kesabaran, lewati prosesnya sebagai suatu dialektika berorganisasi, tumbuhnya rasa saling percaya dan menghargai, dan tetap komitmen pada tujuan Muhammadiyah ”.

“Mungkin bisa abang perjelas maksud pernyataan abang itu”

“Begini die, Secara individu, setiap kader muda Muhammadiyah harus memiliki komitmen mengembangkan kualitas dirinya, menumbuhkan budaya membaca dan menulis, senang berdiskusi, dan mencapai prestasi akademik yang baik”

“Secara organisatoris, IMM, NA, IPM dan Pemuda Muhammadiyah harus mampu menciptakan kanal bagi kader-kader untuk mengembangkankan kualitas mereka, misalnya dengan berbagai inovasi dan model pelatihan pengembangan SDM, dan sudah tentu studi lanjut menjadi penting”

“Ya setuju bang, tapi saya masih mendengar sebagian kader kita merasa pimpinan Muhammadiyah dan Perguruan Tinggi kurang memberikan apresiasi kepada Ortom Muda Muhammadiyah, apalagi studi lanjut untuk kader”

“Hahahaha”

“Kenapa abang tertawa, apa ada yang salah”

“Tidak die, jika kita mau jujur anggapan seperti itu hampir dirasakan oleh semua aktifis muda Muhammadiyah, bukan hanya di Aceh, dan itu berlangsung sudah cukup lama, melewati generasi ke generasi, bukankah mereka yang sekarang menjadi pimpinan PT dan Muhammadiyah di Aceh dulunya Angkatan Muda Muhammadiyah ?”

“Iya bang ya, kalau dipikir-pikir situasi ini menjadi aneh”

“Begini die, komitmen bermuhammadiyah itu pada hakikatnya janji pada diri sendiri sebagai kader dan persyarikatan untuk mewujudkan visi dan misi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dakwah amar makruf nahi mungkat dan gerakan tajdid”. “Komitmen inilah yang kemudian akan mendorong rasa percaya diri, keinginan berkorban, semangat berjama’ah menuju perubahan yang lebih baik”

“Kongkritnya bagaimana bang ?, itukan masih sangat normatif…!. “Komitmen memang mudah diucapkan, tapi sukar dilaksanakan”

“Oleh karena itu die, harus dipahami dulu bahwa komitmen itu adalah sesuatu yang utuh yang tercermin dalam tindakan, dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab”. “Tanggungjawab itu sendiri adalah salah satu sikap komitmen”

“Contoh yang paling riel, kita patut memberikan apresiasi positif kepada bang Tarmizi Gadeng, Dekan Fakultas Ekonomi”. “Abang dengar dia begitu serius mensupport studi lanjut kepada dosen-dosen ekonomi”. “Lihatlah dampaknya untuk dinamika organisasi sekarang dan pada saat dosen-dosen selesai studi lanjut”

“Apa misalnya bang ?”

“Secara managemen konflik, bang Tar memindahkan trend kasak-kusuk rebutan jabatan dan jam perkuliyahan yang selama ini sering terjadi di fakultas dengan membangun semangat kooperatif mengembangkan kualitas SDM dosen”

“Bukankah kapasitas struktur pimpinan fakultas itu terbatas, sementara yang berhasrat itu lebih banyak”

“Hahahahaha, ada-ada saja abang ni ”

“hahahaha, itulah kenyataannya, die”

“Menurut abang kebijakan bang Tar itu cerdas, coba kamu lihat nanti begitu dosen-dosen itu selesai studinya, fakultas ekonomi bisa membuka banyak prodi, karena mereka telah mempersiapkan SDM nya”.

“Hebat juga bang Tar kita ya bang, saya pikir dia hanya ahli dalam bisnis kambing saja, hahahahaha”

“Hahahaha, itulah yang abang maksud komitmen bermuhammadiyah”, kader Muhammadiyah boleh memiliki kesibukan apa saja, tapi hati dan pikirannya tetap untuk mengembangkan dakwah Muhammadiyah”

“Lalu bagaimana dengan perasaan Ortom Muhammadiyah, mereka masih merasakan dukungan ayahanda dan pimpinan amal usaha kurang dalam aktifitas mereka ?”

“Perasaan seperti itu biar saja berkembang sebagai dinamika, tetap diperlukan untuk adanya balance kepemimpinan”.

“Yang dipentingkan disini adalah bagaimana mengelolanya menjadi produktif bagi organisasi, maka koordinasi dan konsolidasi organisasi harus tetap jalan, termasuk konsolidasi ruhani dan silaturahim tidak boleh buntu”

“Apa mungkin itu bisa berjalan begitu bang ?”

“Mestinya bisa die, dibutuhkan kearifan dan kedewasaan berorganisasi”.

“Jika ada kader yang berbeda dan suka mengkritik harus dilihat sebagai sesuatu kekuatan yang akan membangun organisasi ini semakin baik”.

“Mereka tidak boleh “dikotakkan” ataupun dikucilkan keterlibatannya dalam aktifitas Muhammadiyah”

“Pimpinan Muhammadiyah tidak boleh anti kritik, karena kritik itulah yang menandakan adanya evaluasi dan monitoring dalam suatu organisasi, begitukan maksud abang ?”

“Iya die, “Ad-dien an-nashihah, bahwa agama itu nasehat, menasihati penguasa dan ummat dengan cara yang baik, agar kemaslahatan dan kebaikkan semakin besar kita raih”

Tidak terasa diskusi sepanjang jalan kami ini telah mengantarkan kami ke gerbang masjdi Taqwa Arul Kumer. Kami langsung disambut oleh Taufiq dan bang Rasyidi.

“Ini bang Rasyidi bang, Ketua PC Muhammadiyah Silih Nara”.

Taufiq memperkenalkan bang Rasyidi kepada Nyak Arief dan Saidi.

“Ini pasti bang Nyak Arief, iya kan ?”

“Iya”

“Saya masih ingat, kita sering ketemu saat abang masih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh, saya juga aktif di Pemuda Muhammadiyah bang dulu”

“Ya ya, saya juga tidak asing dengan wajah bang Rasyidi”. Kami tertawa lepas, tawa itu segurih senyum dan canda ibu-ibu di dapur umum sebelah Selatan masjid Taqwa

“Abang Nyak Arief ini nanti yang menjadi Master Trainingnya bang”. Kembali Taufiq menyambung omonganya yang tadi terputus sejenak”

“Wah, biasanya Almarhum ayah bang Nyak Arief yang jadi master training, saya sering mengikuti training Muhammadiyah bersama beliau dahulu”. Suasana menjadi begitu cairnya, Taufiq memang pinter membangun keakraban perbincangan kami malam itu.

“Ustad Aslamnur mana Fiq, kok tidak kelihatan ?”

“Di dalam masjid bang, beliau baru saja istirahat bang, kalau ustad Herman dan teman-teman yang lain di Balai, mereka sedang briefing persiapan besok”

“Jika abang ingin istirahat, silahkan bang”

“Terima kasih fiq, abang mau tarawih dulu, pamit bang Rasyidi”

“Silahkan pak Arief”

Saidi sudah tidak tampak, pasti dia sudah mulai tarawih. Saat Nyak Arief memasuki pintu masjid, dia menyaksikan di sudut utara masjid kasur telah dibentangkan. Ustad Aslamnur sedang tertidur menekuk lutut, tubuhnya dibungkus selimut, berusaha menghindari udara yang sangat dingin. Di sebelahnya, ada Ustad Mawardi, Ketua LPCR Aceh berusia sekitar 62 tahun. Ustad Mawardi berperawakan kecil, dan akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Dia pun tertidur lelap, membungkus seluruh tubuhnya dengan berlapis-lapis selimut. Di sisi kanan Ustad Aslamnur tampak Ustad Jufri mengenakan jas bludu hitam tebal, dia menggulung selimut menutup kedua kaki, tampak masih gelisah tidurnya, pasti dia sedang kedinginan. Hanya Ustad Sultan yang masih terjaga, mereka masih sempat saling melempar senyum, menyapa dengan pelan agar tidak mengusik mereka yang telah tidur. Ustad Sultan sibuk mengaduk kopi, memang jika hawa sedingin ini, meminum kopi panas tentu sangat nikmat.

Lalu Nyak Arief bertindak cepat, dia mengangkat tiga kasur yang tidak digunakan dan mencari posisi di sebelah selatan ruangan masjid. Kasur itu dibentangkan, Fatih membantu menurunkan bantal dari mobil, Fatan mengangkat selimut. Kami mempersiapkan tempat tidur malam ini senyaman mungkin.

“Fatih…, Fatan…, kalian boleh tidur duluan, yanda mau shalat tarawih dulu”

“Kami ikut tarawih juga”, mereka menjawab hampir serempak.

“Oke kalau gitu, ayo wudhu cepat !”

Malam itu jama’ah kecil Nyak Arief dan kedua puteranya menjadi kloter jama’ah tarawih terakhir di masjid Taqwa. Saat Tarawih selesai, Fatih dan Fatan tidak sanggup lagi menahan diri untuk tidak memeluk guling, mereka tertidur lelap saling merangkul, sementara hawa dingin mulai meracau menyerang tubuh kecil itu.

Subhanalah, walhamdulillah, wa la ila ha illallah, wallahu akbar

  1. H. Aslam Nur, LML, MA, Ketua Muhammadiyah Aceh, seorang pakar antropologi Aceh, malam ini harus tidur di atas kasur tak beralas, sama seperti peserta yang lain, dia dikeroyok hawa dingin Arul Kumer. Hanya karena komitmen bermuhammadiyah, komitmen untuk mensukseskan acara training ini, dia sanggup seperti itu. Begitupun Ustad Mawardi, orang tua itu semestinya tidak perlu hadir di arena ini, namun ia memaksa hadir karena tanggungjawab sebagai Ketua LPCR Aceh. Ustad Jufri dan Ustad Sultan, keduanya anggota LPCR Aceh, mereka meninggalkan agendanya masing-masing di Banda Aceh, semua itu pasti karena mereka juga punya komitmen. Tiba-tiba saja deburan rasa haru seperti segerombolan semut berbaris mendenyut-denyut hati Nyak Arief, kini dia sadar apa yang pernah disampaikan Almarhum Tgk. Imam Syuja’ menemukan faktanya.

“Ananda Nyak Arief, berdakwah di Muhammadiyah ini seperti orang menanam cinta kepada Islam, semakin kita istiqamah berdakwah maka semakin kokoh cinta kita kepada Islam. Maka jangan pernah meninggalkan Muhammadiyah apapun yang terjadi, karena kader harus siap menerima apapun kenyataan, suka maupun duka bersama Muhammadiyah”

Tanpa sadar, terlintaslah beberapa kenangan masa kecil bersama almarhum Tgk. Imam Syuja’, seorang tokoh Muhammadiyah Aceh, pernah menjadi anggota DPR RI, dianggap salah seorang tokoh damai Aceh, dan pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Aceh. “Mudah-mudahan Allah menempatkan Om Imam di tempat yang mulia di sisi Allah, surga jannatun naim”, lirih hatinya berbisik berdoa.

Nyak Arief bangkit dan berdiri di pintu masjid, di balai yang menjadi base camp panitia, dia masih melihat Taufiq, Sudarliadi, Zikri, Hedrik dan juga Ustad Hermansyah, mereka masih berbicang-bincang ringan, sembari mendiksikan hal yang berhubungan dengan pembukaan besok. Sekali-kali terdengar canda dan gelak tawa mereka.

Malam ini Arul Kumer menasbihkan cahaya cinta di hati kami semua. Dakwah Islam memang harus diperjuangkan, bukan dengan amarah, dengki ataupun anggapan bahwa orang lain itu salah dan sesat. Islam harus diperjuangkan dengan cinta, kasih sayang dan penuh kedamaain, karena itulah hakikat makna Islam. Begitupun, cinta kasih selalu membutuhkan pembuktian komitmen. Love doesn’t mean anything if you’re not willing to make a comittment

Perlahan-lahan rasa dingin yang tadi menusuk tulang, hilang tak terasa lagi. Perasaan Nyak Arief teraduk haru dan terbakar muda remaja. Taufiq menyulut percikan api itu, hangatnya merangkul rekan muda panitia, sebuah perasaan yang begitu gila, dan pernah singgah di era 90-an.

Subhanallah, Nyak Arief merasa seperti masih menjadi Ketua Cabang IMM Sukoharjo, andrenalinnya begitu terasa. Dia malu sendiri, lalu beranjak mendekati Fatih dan Fatan yang tertidur pulas, mereka juga sedang membuktikan komitmennya, berproses menjadi kader Muhammadiyah.

 

Exit mobile version