Oleh: Mustofa W Hasyim
Istilah kepentingan umum cenderung menjadi rancu. Demi kepentingan umum banyak lahan, ruang dan waktu serta jalur-jalur ditertibkan. Tetapi setelah ditertibkan yang dibangun adalah fasilitas yang lebih berpihak pada kepentingan khusus para pemodal. Di tingkat makro, muncul keanehan dan pengjungkirbalikkan logika. Sesuatu yang seharusnya dikelola untuk kepentingan publik justru diprivatkan, masalah-maslaah privat justru dipublikasikan. BUMN tetapi bentuk usahanya PT. Meski telah diprivatiasasi yang terjadi adalah pelayanan tidak menjadi lebih baik, dan yang penting, justru tidak menjadi makin murah.
Dalam segala logika yang dipakai untuk membenarkan praktik privatisasi ini adalah logika usaha dan logika laba bagi yang melakukan usaha. Kalau semula BUMN adalah milk rakyat maka dengan diprivatisasi usaha itu menjadi milik privat. Dalam semua kalimat undang-undang dan peraturannya hampir tidak pernah menyebut kepentingan umuum, kepentingan rakyat, kepentingan masyarakat sebagai pihak yang akan mengeluarkan uang ketika ingin menikmati produk barang atau produk jasa pelayanan dari PT itu. Ketika PNKA, berubah menjadi PJKA, kemudian menjadi PT KAI apakah para pemakai jasa kereta api merasakan tertolong dan mendapat tiket murah. Tidak. Kereta api Prameks ternyata naik harga tiketnya, jadwal berangkat pergi malah dikurangi. Dan ketika kenyamanan untuk penumpang ditingkatkan maka ribuan, atau malah puluhan ribu pedagang asongan ditendang tidak boleh masuk setasiun dan tidak boleh berjualan. Dan semua ini atas nama Undang-Undang atau peraturan yang dibuat sepihak oleh negara.
Kepentingan umum dalam konteks ini dipahami dan ditafsrikan secara tunggal oleh PT KAI, sebagai kepentingan khsus perusahaan PT KAI dan kepentinan khusus penumpang yang menjadi konsumennya. Kepentingan umum dari masyarakat sekitar jalur kereta api dan masyarakat sekitar stasiun kereta api diangggap tidak ada dan atas nama Undang-undang atau atas nama peraturan, menjadi ditiadakan. Terjadi pengucilan dan pengusiran potensi ekonomi masyarakat bawah oleh hukum. Dan kasus ini dapat dilihat di sektor angkutan atau trnasportasi, perdagangan dan pariwisata misilnya, khususnya ketika mereka tengah membangun infrastruktur. Atas nama kepentingan umum bernama kepentingan pembangunan jalan tol, pembangunan bandara, pembangunan pelabuhan, pembangunan pasar, pembangunan terminal, pembangunan pertokoan, pembangunan kawasan industri maka kepentingan umum dari warga pemilik lahan di tengah atau di sekitarnya pun ditiadakan. Semua atas nama peraturan, Undang-undang, atas nama negara.
Ada kementerian yang anatominya di tingkat bawah lucu. Pelayanan yang baku diserahkan kepada tokoh masyarakat yang tidak ada dalam struktur formal yang dlindungi Undang-undang, tetapi urusan yang berkaitan dengan uang ada bagian yang mengurusi di lembaga itu. Di tingkat Kecamatan tidak ada bagian yang mengurusi Kaum.Rois yang setiap hari melayani masyarakat. Kaum Rosi ini mirip gumantung tanpa canthelann. Mereka setiap hari bergiat melayani masyarakat ata kepentingan umum tetapi tidak ada yang ngaruhke. Sedang urusan BMT dan urusan bmbingan haji dan umroh ada bagiannya.
Kasus kementerian ini sepertinya juga menimpa atau beroperasi di kementrian yang lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak kunjung memahami akar-akar masalah dari dunia pedidikan dan kebudayan lalu mengatasinya. Kementerian perdagangan malah sibuk mejadi gerbang perdagangan impor barang-barang yang sebenarnya dapat dihasilkan oleh rakyat Indonesia. Perdagangan lokal dan interlokal kurang diperjuangkan karena infrastruktur fisik rusak sehingga barang-barang lokal kehilangan daya saing dibanding barang impor. Kementerian Kesehatan melakukan pembiaran proses terjadinya pemahalan biaya kesehatan dan obat dan kurang memahami akar-akar amsalah kesehatan dan pemecahan yang sebenarnya seringkali sederhana dan murah, bahkan gratis. Departemen pertahanan dan keamanaan kurang bisa melindungi masyarakat, rakyat dan kepentingan umum dari ancaman konflik, kerusuhan, tawuran yang berkepanjangan terjadi di sana-sini melibatkan pelaku yang aneka macam. Polisi malah ditakuuti atau diam-diam dibenci masyarakat karena perilaku oknum-oknumnya.
Kalau diperpanjang, dan diamati terus, maka daftar kenyataan yang pahit tentang diabaikannya kepentingan umum di negeri ini akan bertambah banyak dan panjang. Muncul bertumpuk masalah setiap hari, dan ini dihadapi masyarakat dan rakyat nyaris sendirian. Negara sering tidak hadir ketika masalah ini muncul dan memberatkan kehidupan masyarakat.