Mozaik Ramadhan 3 : Nyak Arief Fadhilah Syah
any people have ideas on how others should change; few people have ideas on how they themselves should change
Leo Tolstoy
Udara pagi masih terasa sejuk. Semilir angin yang bertiup dari lereng perbukitan Arul Kumer terasa atis di kulit. Matahari hilang ditutup awan. Sisa hujan semalam menggantungkan mendung di kaki langit. Sepintas mendung itu laksana coretan sketsa pensil seniman naturalis, menabalkan jiwanya dalam goresan-goresan takdir dan harapan bersatu dengan jagad kecil itu. Mereka memahami Tuhan dengan kedahsyatan alam.
Di tudung bumi yang belum memutih, ada bayang-bayang gelap bercampur goresan putih awan seumpama arsiran yang menutup kerisauan Panitia dan Instruktur di Arul Kumer, “mudah-mudahan mendung segera dihalau bayu”. Biasanya cerahpun pasti mengesankan setelah turun hujan.
Suasana Arul Kumer seperti kebanyakan dataran tinggi di pulau-pulau khatulistiwa lainnya. Lembah dan ngarai dipenuhi kebun kopi membentang indah, laksana ATM bagi para petani, penyambung nyawa ekonomi keluarga dan beaya pendidikan. Putera-puteri Arul Kumer dan tanah Gayo umumnya laksana anak busur, mereka lepas dari warangkanya menuju Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, Medan, dan Banda Aceh. Maka sepanjang lereng dan jalan setapak yang setiap hari dilewati selalu ada aroma kopi dan doa untuk putera bangsa itu.
Sepuluh menit yang lalu Nyak Arief dan dua puteranya baru saja kembali mengintari kampung. Mereka berjalan kaki dan menikmati suasana. Sekali-kali tampak dia meladeni pertanyaan-pertanyaan Fatih dan Fatan. “Apa itu yanda ?”, “Mengapa seperti itu yanda ?” dan banyak lagi pertanyaan yang semampunya dia jawab untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
“Yanda”
“Ada apa Fatih ?”
“Mengapa orang-orang itu berdiri berkumpul di depan rumahnya ?’
“Oh itu…”. Nyak Arief tidak langsung menjawab.
“Mereka sedang apa yanda ?”, tanya Fatan pula.
“Coba kalian perhatikan…!, di tengah-tengah mereka ada apa ?”
“Ada kotak indomie dan tempat telur ayam yang dibakar”
“Nah, menurut kalian untuk apa mereka membakar kotak indomie lalu berdiri mengelilinginya ?”
“Fatih tahu yanda, pasti supaya mereka tidak dingin”
“Ya, Fatih benar, hawa panas itu akan membuat tubuh mereka hangat”
“Kenapa yanda gak buat seperti itu ?, Fatan kan mau juga”
“Hehehe, kalau kita tinggal disini, yanda pasti melakukan hal yang serupa”. “Jika Fatan dan Fatih nanti gak tahan kedinginan, pergi saja ke dapur umum disamping masjid ya !”
“Yanda, kita boleh ikut berdiri bersama mereka ?”
“Pasti boleh”
“Mereka gak marah ?”, tanya Fatan ragu”
“Kenapa marah !, mereka adalah orang-orang yang ramah dan suka bergaul”
“Ayok kita ke sana yanda !”, ajak Fatih penuh antusias. Mereka berjalan mendekati kerumunan orang yang membuat Fatih dan Fatan penasaran tadi.
“Assalamu’alaikum”. Nyak Arief memberikan salam saat dia dan dua puteranya menghampiri kerumunan yang sedang mengintari api. Ada lima orang yang sedang berdiri dan menatap mereka ramah.
“Wa’alaikum salam”, terdengar mereka menjawab serempak.
“Maaf bapak-bapak, kami dari Banda Aceh”. “Ini anak saya, mereka penasaran dan ingin merasakan bagaimana berdiri mengintari api, seperti bapak-bapak tadi”
“Ohhhh, ya…ya ayok sini”. Tampak dua orang bapak secara spontan mundur dan mempersilahkan Fatih dan Fatan berdiri disamping api.
Sementara yang lain pun seperti tertular, ikut mundur juga.
“Jangan mundur pak, mari kita sama-sama saja, kalau rapat dan berhimpit-himpit seperti ini, pasti semakin hangat”. Nyak Arief ikut bergabung berdiri di samping mereka, sambil membentang kedua tangannya, seperti memberi insyarat menahan mereka mundur.
“Kapan tiba di sini pak ustadz?”
“Akh….bapak ini !, panggil saja saya Nyak Arief, jangan ustadz”. Saat menyebutkan namanya tadi, Nyak Arief menyodorkan tangannya, bersalam dengan mereka semua”
“Ayo Fatih, Fatan, salami bapak-bapak ini”. Fatih dan Fatan menyalami semua mereka, tidak lupa mencium semua tapak tangan mereka.
“Wah…mereka ini kembar ya ?”
“Tidak pak”
“Seperti kembar ya, sahut seseorang diantara mereka yang lebih tua. Tadi dia memperkenalkan namanya Sabri”
“Gimana rasanya Fatih ?”. Pak Lukman bertanya sembari membungkukkan tubuhnya.
“Enak, jadi gak dingin”
“Iya hangat ya bang”. Fatan menyambung jawaban abangnya.
“Kalau boleh tahu, sejak kapan orang-orang di Arul Kumer ini punya kebiasan seperti ini ?”
“Oh sudah lama pak ustad, sejak kakek buyut kami mungkin”
“Nah kan pak Sabri masih manggil saya ustadz”
“ Saya yakin memang pak arief ustadz, ustadz kan yang bersama-sama dengan mereka di masjid Taqwa ?”.
“Ya benar pak, saya memang salah satu rombongan di masjid taqwa itu, tapi saya bukan ustadz”. Memang demikianlah adanya orang desa kebanyakan, mereka sangat cepat mengenal pendatang asing yang masuk ke daerah mereka”.
“Pak, di seberang ada ibu-ibu yang mengelilingi api seperti kita, mereka kelihatan begitu ceria, biasanya kalau bapak dan ibu berkumpul begini, ngomongin apa sih ?”
“Alaa pak…, omongan kami orang kampung, ya paling tentang kebun, hal-hal seharian yang kami alami dan kalau akhir-akhir ini tentang pilkada, hahahahaha”. Pak Junaidi yang berdiri di sisi kiri Nyak Arief akhirnya bersuara. Sedari tadi dia hanya diam saja, mungkin sedang membaca situasi dan menimbang-timbang.
“Oh…”
“Kalau kami di Banda Aceh seperti itu juga, cuma ada pemanisnya, yaitu ramaikan gosip, hehehehhe”
“Kalau itu, di sini juga gak ketinggalan, biasalah ibu-ibu”
“Oh begitu…”
“Padahal ngegosip dilarang dalam agama kita, iya kan pak ustadz ?
“Pak… aduh…siapa namanya tadi, maaf saya lupa…?”
“Munir pak ustadz”
“Ya, pak Munir, memang Islam sangat melarang sesama muslim mempergunjingkan saudaranya”, Allah berfirman dalam surat Al-Hujuraat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Ayat 12)
“Ayat 12 surah al-Hujarat ini sangat jelas sekali, berburuk sangka, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing adalah dosa besar”.
“Perumpamaan jelek dan beratnya dosa melakukan perbuatan tersebut seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati”
Kurang lebih selama 15 menit Nyak Arief terlibat dalam suasana yang akrab, berdiskusi ringan sembari mengusir hawa dingin Arul Kumer. Udara dingin itu menggoda lengan untuk menyilang tubuh, memeluk dan menggemerutukkan gigi. Lalu mereka pamit kembali ke base camp pelatihan Kemah Ramadhan.
Sepanjang jalan pulang tadi sampai dia menyaksikan kesibukan adik-adik panitia mempersiapkan pembukaan, dia masih mengingat peristiwa itu. Alangkah menariknya kebiasaan masyarakat Arul Kumer. Betapa budaya yang diturunkan oleh indatu pendahulu mereka menyimpan banyak tutur nilai dan kearifan sosial.
Sementara di belahan dunia yang lain, di negara Eropa misalnya, mereka membuat pengapian khusus di rumah untuk menghangatkan tubuh dari hawa dingin. Tapi tidak di Arul Kumer, mereka memilih keluar dari rumah mereka, membakar apa saja, kayu broti yang tidak terpakai, kotak supermi, atau lempengan bekas tempat telur sekali pun, berdiri mengelilingi api sambil bercakap-cakap tentang kehidupan mereka sehari-hari. Dia masih ingat perkataan pak Sabri sebelum melangkah pulang ke base camp Kemah Ramadhan.
“Besok jika ada waktu luang datanglah lagi kemari pak ustadz, kami senang bisa mendengar nasehat agama dari ustadz”. Nyak Arief hanya tersenyum dan mengatakan “insyaa Allah”
“Bukankah lebih baik sekali-sekali berdiskusi dan belajar agama pak ustadz daripada ngomong ngelantur gak menentu”. Pak Lukman ikut juga menambah omongan pak Sabri, seakan-akan meyakinkan Nyak Arief untuk singgah besok pagi kembali.
Sempat juga terlintas dalam pikirannya “andai saja di Arul Kumer ini Muhammadiyah punya pengurus, anggota dan mubaligh Muhammadiyah yang handal, lalu mereka menjadikan “momen budaya menghalau hawa dingin” ini menjadi media dakwah sederhana, berkumpul bersama umat, mengetahui dan mendengar masalah mereka secara langsung dan dekat, dan berdiskusi bersama mereka”.
“Wow bukankah ini media dakwah Muhammadiyah yang cukup efektif dan strategis”, batinnya dalam hati.
Tiba-tiba saja dia terkenang peristiwa 23 tahun yang lalu tepatnya saat dia menjadi Ketua IMM Cabang Sukoharjo. Dia dan Zakiyuddin Baidhowy yang saat itu menjadi Ketua Kader IMM Sukoharjo menggagas kegiatan mentoring system kepada kader-kader IMM di UMS. Dia masih ingat batapa kegiatan itu awalnya menjadi bahan tertawaan dan kurang mendapatkan dukungan dari kampus, tapi mentoring tetap dilaksanakan. Para anggota IMM yang baru saja menyelesaikan training DAD harus mengikuti follow up berupa mentoring selama satu bulan. Mereka dikelompokkan dalam grup mentoring yang terdiri 5-7 orang peserta, didampingi oleh seorang mentor.
Selama kegiatan mentoring tersebut, kader-kader itu akan berdiskusi dengan mentor mereka tentang tema-tema tertentu yang telah direncanakan. Mereka duduk membentuk lingkaran di bawah pepohonan yang rindang di halaman kampus, mengasah motivasi dan kemampuan pribadi. Bagi mentor IMM, momen itu digunakan sebagai kegiatan untuk memahami dan mengarahkan kemana peminatan kader.
Enam tahun kemudian, saat dalam suatu panel bersama Pak Najamuddin pada kegiatan Workshop Konsep Baitul Arqam Purna Studi dilingkungan PTM yang digagas MPK SDI PWM Jawa Tengah, barulah dia mengetahui bahwa kegiatan mentoring seperti itu dilaksanakan oleh Lembaga Studi Islam dan Kemuhammadiyahan UMS secara massif kepada mahasiswa UMS.
Begitulah angannya saat ini tentang kemungkinan mubaligh Muhammadiyah menggunakan “momen menghalau dingin” di Arul Kumer dataran Gayo atau daerah puncak di Indonesia pada umumnya, dapat dijadikan alternatif model penyuluhan program dan dakwah Muhammadiyah di masyarakat suatu saat nanti. Bukankah perubahan itu membutuhkan keberanian ?.
“Perubahan membutuhkan keberanian berpikir dan bertindak di luar kelaziman dan kemapanan, jangan pernah membunuh ide perubahan hanya karena gagasan itu saat ini dirasakan aneh dan tidak mendapatkan tempatnya”. Itulah nasehat seniornya bang Zulkarnain ketika di Shabron dulu.
“Bang Arief”. Panggilan Taufiq membuyarkan lamunan Nyak Arief. Dia tidak sadar sejak kapan Taufiq telah berdiri di sisi kirinya.
“Eeh, Taufiq, gimana fiq ?”
“Kita akan melaksanakan pembukaan di lapangan masjid bang, gimana menurut abang ?”
“Bagus fiq, yang penting kita kondisikan, setting lapangannya agar tidak kelihatan massanya kurang !”
“Inilah bang, kemarin pak Bupati menawarkan tratak dan sound system, tapi pak Mirwan menolak, malah dia mengatakan pembukaan kita buat di dalam masjid saja, dan cukup menggunakan sound masjid”
“Oh begitu, lalu… ?”
“Jika kita buat di luar, syiar dakwahnya akan pasti lebih hidup dan kita berharap ada efek dakwah Muhammadiyah yang dirasakan masyarakat Arul Kumer, bagaimana menurut abang ?”
“Mantap fiq, kita persiapkan saja, nanti dengan pak Ketua PDM kita koordinasikan”
“Oh ya fiq, bagaimana dengan tenda besar itu, kalau tetap begitu jadi tidak menarik”
“Nanti kita buka tabirnya, rencana saya ibu-ibu dan tamu undangan perempuan kita tempatkan disana, mereka lesehan menghadap podium, nanti saya setting sedemikian rupa, hingga jadi menarik”. Nyak Arief menatap binar-binar mata Taufiq penuh energi.
“Dia memang pantas menjadi Ketua Panitia”, lirih suara hatinya berbisik. Lalu Taufiq menceritakan banyak hal tentang persiapan pembukaan yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi itu, termasuk dia meminta pengertian Nyak Arief sebagai Master jika kegiatan pembukaan ini diperkirakan akan molor dan berpengaruh pada pelaksanaan training.
Nyak Arief tersenyum menanggapi semua, dia senang dengan keterbukaan dan koordinasi yang dilakukakan Taufiq. Memang sudah seharusnya demikian dalam setiap kegiatan yang melibatkan berbagai komponen. Dia yakin kegiatan pembukaan akan berlangsung sukses. Mungkin energi yang terpancar dari mata Taufiq membuat keyakinannya semakin kuat. Pasti Taufiq akan mengerahkan semua kekuatan untuk membuat kegiatan pembukaan menjadi fenomenal.
Nyak Arief cukup mengenal Taufiq, mantan Presiden Unmuha ini tentu tidak ingin dipermalukan dengan kegiatan pembukaan yang kobong, atau gagal.
“Lalu bagaimana kita pindahkan tratak utama yang telah terpasang ini, posisinya tidak selaras dengan podium”
“Abang benar, nanti itu kita pindahkan, saya ada ide bagaimana pekerjaan itu menjadi mudah, oke bang saya tinggal dulu”.
Taufiq berlalu meninggalkan Nyak Arief menuju Balai base camp panitia. Tidak lama berselang tampak kesibukan panitia. Mereka memasang tratak dan mengangkat podium masjid, di tempatkan di atas panggung. Panitia putri pun sibuk menghias panggung utama. Semua bekerja dengan cepat dan cekatan sembari tidak henti-hentinya terdengar suara canda dan senda gurau mereka, membuat pekerjaan menjadi ringan dan menyenangkan.
“Ayo…kemarilah yang muda-muda, kita butuh beberapa orang yang bersedia memindahkan tratak utama ?”. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Taufiq. Beberapa orang anggota beranjak mendekati tratak utama, ada ustad Hermansyah, Saidi, Zikri, Iqbal, dan tak ketinggalan ustadz Sultan dan ustadz Jufri.
“Oh begitu rencananya, siapa yang punya ide ini ?”
“Bang Taufiq bang” jawab Iqbal.
Dia melihat di setiap tiang besi tratak diikat dengan tali sedemikian rupa di bagian bawahnya, tepatnya 40 cm dari tanah. Pada bagian tali pengikat tersebut, ada bagian tali berbentuk lingkaran tempat berpegang.
“Ayo, kita angkat serentak, satu…., dua…., tiga….”, Saidi berteriak memberi aba-aba.
Lalu tratak tersebut terangkat dan perlahan-lahan bergerak ke sebelah selatan menghadap tenda besar BNPB. Baru beberapa langkah bergerak, tiba-tiba terdengar “byuuuuuur”, air jatuh dari atap tratak memandikan ustad Jufri, Saidi dan Nyak Arief. Rupanya sisa hujan semalam yang menggenangi atap tratak tumpah ruah.
Semua tertawa saat Saidi berteriak “berhenti dulu, basah ni !”.
Semua sepakat mengubah strategi dulu. Dua sisi tiang yang sejajar diangkat, sementara sisi yang lain menahan, akhirnya air yang masih tergenang tumpah ke bawah ke bagian yang lebih rendah, lalu kedelapan orang itu kembali mengangkat tratak tersebut.
Akhirnya dua tratak berhasil dipindahkan ke posisi yang dikehendaki. Betapa pekerjaan itu dapat dilakukan dengan cepat, ringan dan begitu mudahnya.
Subhanallah, ini mengingatkan peristiwa luar biasa saat Rasulullah menyelesaikan konflik para pemuka suku di Mekkah yang berebut mengangkat hajarul aswad. Semua kepala suku merasa merekalah yang paling berhak mengangkat batu hitam yang mulia itu. Kemudian dengan kecerdasan dan kebijaksanaan seorang pemuda bernama Muhammad, penyandang gelar al-Amien itu mampu menyelesaikan masalah yang hampir menjadi cheos antar suku. Dia meminta setiap pemuka suku memegang bagian kain yang menjadi alas hajarul aswad, lalu mengangkatnya bersama-sama.
Pagi ini laksana mengulang peristiwa hebat itu, kader-kader Muhammadiyah masing-masing memegang tali tiang dan tuntaslah masalah itu dengan baik.
“Hebat”. Nyak Arief menyeluntuk sendiri.
“Apanya yang hebat bang ?”
“Coba kamu perhatikan cara kita mengangkat dua tratak tersebut”
“Oh itu, saya pikir apa ?”
“Apa kamu pikir kamu bisa mengangkatnya sendiri ?!“
“Ya tentu tidak sangguplah bang”
“Saidi, peristiwa ini mengingatkan abang dengan kisah Rasulullah menyelesaikan konflik pemuka suku ketika ingin memindahkan hajarul aswad, iya kan ?
“Hahahaha, ada-ada saja abang ni”
“Lho ?!, benarkan ?”
“Iya sih”
“Banyak pembelajaran penting yang sering luput dari pikiran kita dari peristiwa yang mungkin tidak berarti apa-apa bagi banyak orang”
“Maksud abang betapa pentingnya persatuan dan kerjasama, iya kan ?”
“Begini die, Muhammadiyah ini organisasi yang sudah berkembang, dan telah menjadi salah satu organisasi terbesar di Indonesia”.
“Apabila kita sebagai kader, pengurus dan anggota Muhammadiyah benar-benar memberi kontribusi sekecil apapun untuk gerakan, maka tidak ada masalah yang tidak selesai, sebesar apa pun peliknya masalah itu”
“Betul itu bang, coba setiap kita mengerjakan apa yang menjadi tanggungjawab kita di Muhammadiyah, semua berorientasi kepada tujuan dan hakikat yang kita perjuangkan, saling membantu dan menopang persyarikatan, wah…saya tidak bisa bayangkan betapa luar biasanya pergerakan ini”
“Makanya kenapa di Muhammadiyah berkembang motto sedikit berbicara banyak bekerja (red: beramal)”.
“Coba ingat tadi !, kamu cuma teriak satu dua dan tiga saja, lalu lihat hasilnya, kamu lah pimpinannya tadi”
“Hahahaha, abang ini ada-ada saja”
“Saidi, seperti itulah mestinya berjalannya kepemimpinan di Muhammadiyah”. “Ada yang harus dipatuhi, ada yang harus tertib menjalankan tugas”.”Tidak boleh semua merasa sebagai ketua, atau semua harus dikerjakan dan tanggung jawab ketua”.
“Jika setiap kader, pengurus dan anggota mengambil perannya masing-masing, insyaa Allah Muhammadiyah semakin jaya”
“Seperti Hymne IMM ya bang, “abadi perjuangan kami”. Saidi melantunkan bait terakhir lagu itu.
“Ya, seperi reff lagu Sang Surya juga Die”
Di Timur fajar Cerah Gemerlapan Mengusir Kabut Hitam Menggugah Kaum Muslimin Tinggalkan Peraduan
Lihatlah Matahari Telah Tinggi Di Ufuk Timur Sana Seruan Illahi Rabbi Sami’na Wa attho’na
“Betul bang, pimpinan Muhammadiyah hendaknya senantiasa menyeru seruan Ilahi Rabbi, agar kita sami’na wa ata’na”
“Wah itu closing pernyataanmu sangat bernas dan dalam”, sudah dulu deh, abang mau cari Fatih dan Fatan, katanya mereka mau mandi, nanti kita lanjut lagi diskusinya”
Nyak Arief beranjak menuju balai base camp panitia, “subhanallah semakin lama aku semakin suka Arul Kumer”. “Di sini banyak bertabur cinta, dan tampaknya seriap orang berebut merengkuh hikmahnya”.
Nyak Arief berguman sendiri, dia merasakan fajar kini perlahan-lahan menampakkan cerahnya