“Itu rumah saya tiap hari dijaga Pemuda Marhaen dan Pemuda Muhammadiyah untuk menjaga kemungkinan terjadinya penculikan. Ayah saya bekas ketua Masyumi distrik Caruban (Madiun), tahun 1965 ayah saya jadi penasihat PNI, kalau non-politik Muhammadiyah,” katanya.
Sebelumnya, Sidang Internasional People’s Tribunal (IPT) 1965 mengeluarkan putusan final bahwa tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh Indonesia dengan dikomandoi oleh militer itu meliputi; pembunuhan, hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida, adalah bentuk pelanggaran keras terhadap HAM. Sehingga, pemerintah Indonesia harus meminta maaf secara resmi kepada keluarga korban. Rekomendasi ini nantinya juga akan disampaikan kepada PBB.
Di lokasi terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Armanatha Nasir, mengatakan pemerintah menolak hasil putusan dari International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965). “Kelompok IPT 65 dan kegiatan yang dilakukan tidak memiliki mandat hukum legitimate,” kata Nasir (Ribas).
Baca: Syafii Maarif; Bukan Palu Arit, Tapi Ketidakadilan yang Perlu Dilawan