Tanggapi Putusan IPT, Muhadjir Effendy: Pembantaian PKI 1965 Sebagai Reaksi

Tanggapi Putusan IPT, Muhadjir Effendy: Pembantaian PKI 1965 Sebagai Reaksi

JAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Muhadjir Effendy menyatakan bahwa peristiwa pembantaian terhadap PKI pada tahun 1965 merupakan reaksi dari serangkaian sejarah PKI. Selama ini, PKI sering dipersepsikan hanya sebagai korban dengan melihat peristiwa tahun 1965 secara parsial.

“Saya kira pengadilan itu sangat tidak adil karena hanya melihat penggalan sejarah tanpa memperhatikan bahwa apa yang terjadi 1965 itu sebagai bentuk reaksi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya dan itu yang memulai jelas PKI,” ujar Muhadjir , Kamis (21/7), ketika menanggapi putusan Majelis Hakim sidang Internasional People’s Tribunal (IPT) 1965, yang menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando.

Menurut mantan Rektor UMM itu, rangkaian  peristiwa-peristiwa sebelum 1965 di antaranya adalah pemberontakan Madiun. Saat itu banyak kiai dan birokrat yang dibunuh, hanya karena tidak mau mengikuti perintah PKI. Dari sini terlihat bahwa peristiwa tahun 1965 merupakan bentuk reaksi yang massif dari apa yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya oleh PKI. Aksi yang dilakukan PKI juga memakan banyak korban, termasuk keluarga Muhadjir.

Baca: Amien Rais: Waspadai Kebangkitan PKI!

Pada tahun 1965, ketika usia Muhadjir masih berumur 8-9 tahun, Ayahnya sebagai tokoh Masyumi dan kiai pernah menjadi incaran PKI. Bahkan, pada peristiwa tahun 1948, kakeknya hampir dieksekusi oleh PKI. Tapi beruntung, ada pasukan RPKAD (sekarang Kopassus) yang membebaskan.

“Itu rumah saya tiap hari dijaga Pemuda Marhaen dan Pemuda Muhammadiyah untuk menjaga kemungkinan terjadinya penculikan. Ayah saya bekas ketua Masyumi distrik Caruban (Madiun), tahun 1965 ayah saya jadi penasihat PNI, kalau non-politik Muhammadiyah,” katanya.

Sebelumnya, Sidang Internasional People’s Tribunal (IPT) 1965 mengeluarkan putusan final bahwa tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh Indonesia dengan dikomandoi oleh militer itu meliputi; pembunuhan, hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida, adalah bentuk pelanggaran keras terhadap HAM. Sehingga, pemerintah Indonesia harus meminta maaf secara resmi kepada keluarga korban. Rekomendasi ini nantinya juga akan disampaikan kepada PBB.

Di lokasi terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Armanatha Nasir, mengatakan pemerintah menolak hasil putusan dari International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965). “Kelompok IPT 65 dan kegiatan yang dilakukan tidak memiliki mandat hukum legitimate,” kata Nasir (Ribas).

Baca: Syafii Maarif; Bukan Palu Arit, Tapi Ketidakadilan yang Perlu Dilawan

 

Exit mobile version