Oleh: Mustofa W Hasyim
Zaman Apa Pula Sekarang ini?
Pada zaman seperti apa anak-anak kita sekarang hadir dan berproses menuju dewasa? Pada ruang kota atau ruang desa seperti apa anak-anak kita hidup menyerap segala hal ihwal kehidupan sebagai bekal menjadi manusia dewasa? Di manakah ‘alamat budaya’ mereka ketika para orang tua sibuk mencari uang dari pagi sampai sore atau malam? Siapa saja yang menjadi teman atau sahabat anak-anak kita ketika para orangtua tidak selalu berhasil menemani mereka?
Buku-buku seperti apa yang mereka baca, acara televisi apa yang mereka tonton, dan film atau video yang bagaimana yang mereka pelototi, sajian dan data yang bagaimana yang mereka sedot dari internet? Mengapa ada sebagian orangtua sangat peduli, dan ini sering berlebih-lebihan, kepada anak, sehingga pengawasan kepada mereka diperketat, teman-teman mereka diseleksi, demikian juga tontonan dan buku-buku bacaan mereka? Ini menyebabkan anak-anak bingung karena merasa kalau mereka dilahirkan hanya untuk memasuki penjara bernama kehidupan ini?
Mengapa pula ada sebagian orangtua yang melakukan pembiaran, yang juga berlebihan, sehingga anak seakan-akan bebas merdeka berbuat apa saja, dan ini justru juga membuat mereka kebingungan dalam menabung nilai-nilai dasar kehidupan yang nantinya dapat dijadikan rujukan strategis pada saat mengalami krisis? Mengapa ada sedikit orangtua yang menjadikan anaknya teman dialog sehingga anak-anak merasa nyaman dan merasa dihargai prakarsa, gagasan dan kehendaknya?
Yogya, Ruang Kota bagi Anak
Kalau di tengah kota Yogya sekarang ada Taman Pintar itu tidak salah. Ini dapat menjawab salah satu kebutuhan warga akan ruang publik yang nyaman sekaligus mampu menjadi ruang pembelajaran bagi anak-anak. Di Taman Pintar itu, di samping ada hal-hal yang abstrak, seperti benda-benda yang mewakili ilmu dan teori pengetahuan, ruang gembira berupa kolam renang, juga ada lokasi dimana kita diajak mengenali asal usul kita, sebuah model kehidupan desa yang akrab dan guyub dimana kehidupan manusia bersama hewan dan pepohonan berlangsung secara harmonis. Ada rumah dusun, gubug, replica hewan dan sepotong suasana sawah dan kebun.
Kalau kita mengingat-ingat akan ‘sejarah aktual dan kontemporer’ kota Yogya, maka sesungguhnya seluruh kota ini dapat berfugnsi dan pernah berfungsi bukan saja sebagai Taman Pintar dalam arti luas –ketika sesama warga kampung saling asaj-asih dan asuh serta taman bacaan ada di hampir semua pelosok kampung dan di sekolah- tetapi kota Yogya juga berfungsi sebagai Taman Kreativitas bagi anak-anak kita.
Kita ingat bagaimana tahun 1970-1980an banyak di kota ini bermunculan banyak sekali pelukis belia berbakat. Sanggar seiulukis dan sekolah kreatif semacam yang dikelola Tamansiswa melahirkan pelukis belia. Banyak di antaranya berprestasi secara internasional.
Tahun-tahun berikutnya, di kota ini muncul para pemusik belia, dalam arti pemusik yang mampu memainkan alat musik dngan naskah lagu-lagu klasik dan berkualitas dunia, juga banyak bermunculan penyanyi pop belia. Kursus vokal dan kursus musik, juga pendampingan kelompok musik di sekolah dasar dan menengah membuat anak-anak yang berbakat dan berminat dalam musik mampu tampil optimal dalam pentas lokal, nasional dan global.
Lalu tahun-tahun berikutnya lagi, di kota ini muncul para peneliti dan ilmuwan belia. Lomba-lomba ilmu pengetahuan teori dan terapan yang diikuti anak-anak Yogya menghasilkan juara-juara. Kemudian gejala mutakahir, di kota ini bermunculan para penulis novel belia.
Mengapa demikian? Sebab Yogyakarta yang pada awalnya berwajah budaya, kemudian berwajah sosial, lalu memiliki wajah pendidikan, lalu berwajah pariwisata, lalu berwajah ekonomi, pada tahun-tahun terakhir ini wajah budayanya mengalami transformasi kultural dan intelektual secara dahsyat menjadi berwajah buku dan informasi.
Surga Buku, dari Membaca ke Menulis
Yogya adalah ‘surga’ buku dan informasi karena jaringan penerbit, toko buku, jaringan informasi dan tempat penjualan karya media cetak hampir sebanyak penjual rokok. Warga Yogya aseli dan pendatang bergabung untuk sama-sama memproses dan menikmati surga buku dan informasi ini. Kalau ada warga Yogya yang dalam hidupnya tidak bersentuhan atau tidak menyentuh buku dan mampu mengakses informasi yang amat banyak dan kaya nilai sungguh amat merugi dia. Mereka yang tak mau baca buku dan membaca yang lain, padahal tinggal di Yogya, sungguh kurang gaul mereka. Mereka gagal melakukan investasi kemanusiaan, investasi budaya, dan gagal melakukan investasi intelektual dalam hidupnya.
Beruntung, dan ini patut disyukuri, kita dan anak-anak kita relatif tidak termasuk orang-orang yang merugi secara kultural dan intelektual itu. Kita dan anak-anak kita mudah-mudahan termasuk yang sedikit banyak telah menjadi hadirin yang aktif di pameran buku, di toko buku, di kios buku, di perpustakaan, di acara peluncuran dan diskusi buku juga setia mendengar siaran diskusi buku di radio, televisi, di tempat lain. Biasanya, di kelompok masyarakat yang gemar buku dan informasi ini lahir para kreator, para penulis buku. Bahkan sejak dalam usia belia.
Itu kalau kita bicara dan mencopa memahami dalam kerangka makro kenapa hari-hari ini makin banyak penulis lahir di kota ini, termasuk penulis belia. Mereka ada yang pernah yang menggarap masalah sampah, perang, dunia alternative dari asrama dan misteri pembunuhan sebagai fokus cerita ini menunjukkan kalau penjelejahan ide, penjelajahan imajinasi dan penjelajahan intelektual adik-adik kita ini beragam. Sampah, begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, banyak komunitas atau kelompok masyarakat gagal mengatasi masalah sampah. Bahkan di Bantargebang beberapa orang meninggal karena tertimbun longsoran sampah.
Masalah perang juga terasa dekat dengan kita. Pada saat yang sama kita melihat tayangan adanya perang antarsuku di Papua dan perang antara Hizbulloh melawan Israel di Libanon. Untung Yogyakarta dibangun dan dikembangkan menjadi sebuah lingkungan damai, sebuah llingkungan titi temtrem kerto raharjo, meski akhir-akhir ini agak terusik dengan demonstrasi-demonstrasi yang berfokus pada soal kurangnya kepedulian pemerintah terhadap korban gempa.
Masalah dunia alternatif di luar asrama, dunia alternatif di luar rumah sering terasa sangat indah, walau kalau dimasuki secara nyata sering lebih keras dan mengerikan. Tetapi lewat pintu fantasi atau imajinasi dunia itu dapat dijadikan sebagai obat penawar kebosanan dalam sejenak. Sedang soal pembunuhan, sepertinya sudah menjadi menu harian di televisi dan media lainnya. Kriminalitas sepertinya selalu meningkat dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Detektif Conan dalam film kartun anak-anak selalu bercerita tentang pembunuan demi pembunuhan.
Nah, kalau dalam dunia anak-anak sekarang dimana dongeng dan pendongeng sudah semakin langka, pramuka atau kepanduan kehilangan pesona, orangtua asyik dengan dunianya sendiri, para guru sering sibuk membayangkan sekolahnya sebagai pabrik NEM, dan sebuah kota terus-menerus dipoles menjadi berwajah bisnis, ketika kisah-kisah wayang tak terdengar lagi oleh telinga dam mata anak-anak, juga kisah petualangan lama semacam si Wiro, Pardi Prenges, Kifli, si Untung hilang dari peredaran kemudian muncul empat novel yang merujuk pada Harry Potter, Detektif Conan, Little Stuart, Lima Sekawan, adalah wajar.
Mungkin anak-anak kita belum pernah membaca dan merasakan betapa heboh dan serunya petualangan para tokoh dalam Kisah Seribu Satu Malam, Kalilah wa Dimnah, dan kisah-kisah teladan dalam Qiroatur Rosyidah dan menghafal mahfudlot semisal yang berbunyi khoru jalisin fi kulli zamaanin kitabun yang artinya sebaik-baik teman dalam setiap waktu adalah buku. Tapi yang jelas pesan dari mahfuflot itu telah sampai dan banyak sekali dari anak-anak kita yang melaksanakannya. Membaca, dan dari membaca kemudian menulis. Itulah pentingnya buku. Buku kita baca, kemudian buku pula yang kita tulis, asyik, bukan?