Surga Buku, dari Membaca ke Menulis
Yogya adalah ‘surga’ buku dan informasi karena jaringan penerbit, toko buku, jaringan informasi dan tempat penjualan karya media cetak hampir sebanyak penjual rokok. Warga Yogya aseli dan pendatang bergabung untuk sama-sama memproses dan menikmati surga buku dan informasi ini. Kalau ada warga Yogya yang dalam hidupnya tidak bersentuhan atau tidak menyentuh buku dan mampu mengakses informasi yang amat banyak dan kaya nilai sungguh amat merugi dia. Mereka yang tak mau baca buku dan membaca yang lain, padahal tinggal di Yogya, sungguh kurang gaul mereka. Mereka gagal melakukan investasi kemanusiaan, investasi budaya, dan gagal melakukan investasi intelektual dalam hidupnya.
Beruntung, dan ini patut disyukuri, kita dan anak-anak kita relatif tidak termasuk orang-orang yang merugi secara kultural dan intelektual itu. Kita dan anak-anak kita mudah-mudahan termasuk yang sedikit banyak telah menjadi hadirin yang aktif di pameran buku, di toko buku, di kios buku, di perpustakaan, di acara peluncuran dan diskusi buku juga setia mendengar siaran diskusi buku di radio, televisi, di tempat lain. Biasanya, di kelompok masyarakat yang gemar buku dan informasi ini lahir para kreator, para penulis buku. Bahkan sejak dalam usia belia.
Itu kalau kita bicara dan mencopa memahami dalam kerangka makro kenapa hari-hari ini makin banyak penulis lahir di kota ini, termasuk penulis belia. Mereka ada yang pernah yang menggarap masalah sampah, perang, dunia alternative dari asrama dan misteri pembunuhan sebagai fokus cerita ini menunjukkan kalau penjelejahan ide, penjelajahan imajinasi dan penjelajahan intelektual adik-adik kita ini beragam. Sampah, begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, banyak komunitas atau kelompok masyarakat gagal mengatasi masalah sampah. Bahkan di Bantargebang beberapa orang meninggal karena tertimbun longsoran sampah.
Masalah perang juga terasa dekat dengan kita. Pada saat yang sama kita melihat tayangan adanya perang antarsuku di Papua dan perang antara Hizbulloh melawan Israel di Libanon. Untung Yogyakarta dibangun dan dikembangkan menjadi sebuah lingkungan damai, sebuah llingkungan titi temtrem kerto raharjo, meski akhir-akhir ini agak terusik dengan demonstrasi-demonstrasi yang berfokus pada soal kurangnya kepedulian pemerintah terhadap korban gempa.
Masalah dunia alternatif di luar asrama, dunia alternatif di luar rumah sering terasa sangat indah, walau kalau dimasuki secara nyata sering lebih keras dan mengerikan. Tetapi lewat pintu fantasi atau imajinasi dunia itu dapat dijadikan sebagai obat penawar kebosanan dalam sejenak. Sedang soal pembunuhan, sepertinya sudah menjadi menu harian di televisi dan media lainnya. Kriminalitas sepertinya selalu meningkat dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Detektif Conan dalam film kartun anak-anak selalu bercerita tentang pembunuan demi pembunuhan.
Nah, kalau dalam dunia anak-anak sekarang dimana dongeng dan pendongeng sudah semakin langka, pramuka atau kepanduan kehilangan pesona, orangtua asyik dengan dunianya sendiri, para guru sering sibuk membayangkan sekolahnya sebagai pabrik NEM, dan sebuah kota terus-menerus dipoles menjadi berwajah bisnis, ketika kisah-kisah wayang tak terdengar lagi oleh telinga dam mata anak-anak, juga kisah petualangan lama semacam si Wiro, Pardi Prenges, Kifli, si Untung hilang dari peredaran kemudian muncul empat novel yang merujuk pada Harry Potter, Detektif Conan, Little Stuart, Lima Sekawan, adalah wajar.
Mungkin anak-anak kita belum pernah membaca dan merasakan betapa heboh dan serunya petualangan para tokoh dalam Kisah Seribu Satu Malam, Kalilah wa Dimnah, dan kisah-kisah teladan dalam Qiroatur Rosyidah dan menghafal mahfudlot semisal yang berbunyi khoru jalisin fi kulli zamaanin kitabun yang artinya sebaik-baik teman dalam setiap waktu adalah buku. Tapi yang jelas pesan dari mahfuflot itu telah sampai dan banyak sekali dari anak-anak kita yang melaksanakannya. Membaca, dan dari membaca kemudian menulis. Itulah pentingnya buku. Buku kita baca, kemudian buku pula yang kita tulis, asyik, bukan?