YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id– Forum temu seniman Muhammadiyah pada Ahad (31/7) malam menghasilkan kesepakatan untuk menggelar konsolidasi seniman dan budayawan Muhammadiyah dalam skala yang lebih besar. Salah satu rekomendasi penting dari pertemuan di Panti Asuhan Yatim (PAY) Putra Muhammadiyah itu adalah gagasan untuk menyelenggarakan Muktamar Seniman dan Budayawan Muhammadiyah.
Heniy Astiyanto menyatakan bahwa ide itu dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, menimbang perlunya seniman dan budayawan untuk memperjelas identitas bahwa dirinya bagian dari menjalankan dakwah Muhammadiyah. Kedua, forum muktamar nantinya perlu melahirkan pemikiran di bidang seni dan budaya untuk kepentingan umat dan bangsa. Ketiga, forum muktamar sebagai ajang festival seni Indonesia produk Muhammadiyah.
Alasan keempat, sebut Heniy, muktamar seniman dan budayawan Muhammadiyah dimaksudkan untuk menggerakkan roda organisasi Muhammadiyah di bidang seni dan budaya. “Kelima, muktamar berperan sebagai sosial kontrol bagi kebijakan pemerintah terhadap seni dan budaya di Indonesia,” tutur aktifis budaya Jawa itu.
Heniy yang juga wakil ketua PDM Kota Jogjakarta itu menjelaskan, demi terlaksananya Muktamar Seniman dan Budayawan Muhammadiyah untuk pertama kalinya itu, maka harus melalui tiga tahapan. “Ini tahapannya: menyusun konsep yang matang, mencari dukungan seniman dan budayawan Muhammadiyah, serta meminta restu bapak-bapak Pimpinan Pusat Muhammadiyah,” ungkap Heniy kepada suaramuhammadiyah.id.
Agenda Temu Seniman Muhammadiyah yang dipelopori oleh Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta bekerjasama dengan PAY Putra Muhammadiyah Yogyakarta ini mengusung tema “Menggugah Sensasi Menggalang Prestasi”.
Selama ini identitas Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan sering dipertanyakan. Bahkan, Kuntowijoyo menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Perumusan konsep dakwah kultural Muhammadiyah pada tanwir tahun 2002 di Bali merupakan awal dari ikhtiar Muhammadiyah untuk kembali menunjukkan eksistensinya sebagai gerakan dakwah dengan pendekatan budaya (Ribas).