MEDAN.suaramuhammadiyah.id– Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Utara mendorong pihak berwenang untuk tidak hanya menggunakan pendekatan sistem peradilan kriminal dalam penanganan pasca-kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Jumat 29 Juli 2016 yang menyebabkan satu vihara dan empat kelenteng hangus terbakar. Namun hendaknya menggabungkan banyak pendekatan lain yang lebih komprehensif dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penanganan Konflik Sosial.
Hanya mencukupkan pada pendekatan hukum atau criminal justice system (sistem peradilan criminal) saja dinilai baru pada tingkatan dangkal dan tidak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan konflik. Bahkan bukan tidak mungkin justru memperluas konflik yang sudah ada.
“Pendekatan ini bisa memicu konflik lanjutan yang meluas ke daerah lain. Undang-undang ini sudah dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015, ini lebih mampu menyelesaikan kerusuhan yang sudah memenuhi unsur sebagai konflik sosial,” kata Ketua PWM Sumatera Utara Abdul Hakim Siagian, Senin (1/8).
Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa penanganan konflik harus mengedepankan pendekatan musyawarah, kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, keadilan, ketertiban, keberlanjutan dan kearifan lokal, serta tanggung jawab negara, partisipatif, tidak memihak dan tidak membeda-bedakan. Asas ini perlu ditegaskan untuk menjadi landasan dan acuan dalam mengambil keputusan.
“Kita tidak mau seperti menangani penyakit, yang diobati cuma yang nampak, penyakit dalamnya dibiarkan. Penyakit dalam di Tanjungbalai perlu diusut tuntas agar arif tawaran penyelesaian konfliknya. Jangan kita terjebak hanya di tingkat seremonial dan pencitraan saja,” ujarnya.
PWM Sumatera Utara sudah menurunkan tim untuk melakukan evaluasi atas konflik, baik melalui publikasi media, testimoni para saksi serta hasil data yang dikumpulkan. Hasilnya, Muhammadiyah Sumut menyimpulkan apa yang terjadi Tanjungbalai sudah memenuhi unsur konflik sosial sehingga sebagai negara hukum, sudah seharusnya undang-undang khusus penanganan konflik dan peraturan pemerintahnya digunakan.
“Berdasarkan hasil survei dan penelitian kami, di beberapa daerah tinggal menunggu meledak saja. Apalagi perilaku penyelundupan yang masif itu, masuknya narkoba, peredaran bebas, jangankan orang dewasa, anak-anak suka hati membicarakannya. Jadi penanganan secara kriminal saja tidak akan cukup,” kata Abdul Hakim (Ribas).