Temuan Muhammadiyah Sumut, Kesenjangan Sosial-Ekonomi Jadi Pemicu Konflik Tanjung Balai

Temuan Muhammadiyah Sumut, Kesenjangan Sosial-Ekonomi Jadi Pemicu Konflik Tanjung Balai

MEDAN.suaramuhammadiyah.id-Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Utara, Abdul Hakim Siagian menyatakan bahwa selain karena problem loudspeaker masjid, kesenjangan social-ekonomi menjadi pemicu kerusuhan berlatarbelakang SARA di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, Jumat malam, 29 Juli 2016 lalu. Kerusuhan itu menyebabkan satu vihara dan empat kelenteng hangus terbakar.

Menurut Abdul Hakim, berdasarkan data sejarah, kota Tanjungbalai sejak dulu menjadi salah satu daerah yang memiliki tingkat perekonomian tertinggi di Sumut. Waktu komoditi kopra menjadi primadona, warga Kota Tanjungbalai memiliki tingkat ekonomi yang cukup baik hingga mereka bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi hingga ke luar negeri, terutama di Timur Tengah.

Di masa kejayaannya, kota ini dikenal sebagai lumbung dai dan qori dengan profesi mayoritas sebagai petani dan nelayan. Namun setelah reformasi berjalan, kondisi perekonomian khususnya warga pribumi menurun drastis karena harga kopra/kelapa jatuh ke level terendah. Kondisi ini menyebabkan hilangnya kelapa dan berkurangnya hasil tangkapan nelayan akibat pembangunan dan kerusakan lingkungan. Puncaknya, kota yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia ini menjadi gerbang masuknya barang-barang selundupan, terutama narkoba.

Seiring waktu, timbullah kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin tajam di masyarakat, terutama antara pribumi dan pendatang. Penyakit social mulai mendera. Degdradasi moral dirusak narkoba, banyak orang kehilangan pekerjaan, dan mulai mengikis kepekaan sosial.

“Berdasarkan hasil survei dan penelitian kami, di beberapa daerah tinggal menunggu meledak saja. Apalagi perilaku penyelundupan yang masif itu, masuknya narkoba, peredaran bebas, jangankan orang dewasa, anak-anak suka hati membicarakannya. Jadi penanganan secara kriminal saja tidak akan cukup,” beber Abdul Hakim.

Abdul Hakim memiliki pandangan bahwa kebodohan dan kesejahteraan menjadi factor utama di balik kasus-kasus konflik di Indonesia belakangan ini. “Kalau otak kosong, perut lapar, disulut yang berpunya mempertontonkan hartanya, maka gesekan beraroma SARA seperti api yang menyambar bensin,” ucap advokat senior itu (Ribas).

Exit mobile version