Oleh; Ahmad Afandi
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Sepantasnyalah kita tak habis-habisnya mesti bersyukur kepada Allah, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita tetap bertahan dalam keimanan kepada-Nya sebagai tingkat nikmat yang paling tinggi. Syahadatpun marilah selalu kita benahi, biar lebih mendekati makna yang hakiki. Sanjungan shalawat kita sampaikan kepada baginda Rasul, ujung tombak pemawa pelita kehidupan.
Selanjutnya, jamaah Jum’at yang berbahagia.
Dari mimbar ini pula saya serukan kepada diri saya pribadi, umumnya kepada para jamaah sekalian untuk selalu menjaga, mempertahankan dan terus berupaya meningkatkan nilai-nilai takwa, hanya dengan takwalah kita selamat di hari pengadilan-Nya.
Jamaah Jum’at yang berbahagia!
Allah SwT berfirman di dalam Qs Al-Baqarah [2]: 185, yaitu:
Artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Dari informasi ayat di atas, secara jelas Allah menyatakan bahwa fungsi Al-Qur’an yang utama adalah sebagai petunjuk kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kunci kebahagiaan seseorang dalam hidup ini adalah Al-Qur’an. Jika seseorang ingin hidupnya berbahagia, maka patuhi dan ikutilah Al-Qur’an. Di ayat yang lain, yaitu Qs Al-Isra’ [17]: 82 Allah menjelaskan bahwa fungsi Al-Qur’an adalah sebagai obat atau penawar.
Artinya: Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Al-Qur’an adalah obatnya hati yang sedang resah, gundah dan sakit. Qs Yunus [10] 57:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu (Al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Dari ayat di atas juga dapat dipahami secara tersirat bahwa Al-Qur’an itu tidak hanya menjadi hati manusia secara personal, tapi juga menjadi obat hatinya masyarakat secara sosial yang sedang sakit. Hal itu terbukti dalam sejarah. Masyarakat Arab sebelum Al-Qur’an diturunkan adalah masyarakat yang mengalami sakit sosial-moral yang sangat parah. Akan tetapi, dengan Al-Qur’an, dalam tempo hanya sekitar dua puluh tiga tahun mereka dapat disembuhkan. Bahkan masyarakat kemudian tumbuh menjadi masyarakat yang sangat baik dan berperadaban tinggi. Itu semua terjadi karena diobati dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi obat revolusi moral sosial di masyarakat.
Hadirin sidang shalat Jum’at yang dirahmati Allah SwT.
Saya yakin kita semua sudah faham dan mengerti betul akan kedudukan dan fungsi Al-Qur’an seperti dijelaskan di atas. Akan tetapi, pertanyaannya adalah sudahkah kita familier atau akrab dengan Al-Qur’an? Jangan-jangan kita masih asing dan bahkan tidak mengenal sama sekali Al-Qur’an.
Hadirin jamaah shalat jum’at yang berbahagia.
Marilah kita ukur keakraban kita terhadap Al-Qur’an secara sederhana. Indikator pertama sebagai tolak ukur keakraban kita dengan Al-Qur’an dapat kita lihat dari sisi kepemilikan Al-Qur’an. Sudahkah para jama’ah yang hadir ini secara pribadi mempunyai kitab suci Al-Qur’an? Perlu diketahui bahwa dari sekian ratus juta umat Islam di Indonesia, ternyata yang memiliki Al-Qur’an untuk dirinya tidak lebih dari 25%, sungguh hal yang sangat ironis. Jika umat Islam saja masih banyak yang belum memiliki Al-Qur’an, bagaimana dapat dikatakan mereka akrab dengan Al-Qur’an
Jika para jamaah sekalian sudah mempunyai Al-Qur’an, indikator berikutnya adalah sudahkah Al-Qur’an yang dimiliki itu dipegang? Mengapa memegang dijadikan sebagai indikator? Karena ada di antara umat Islam yang telah memiliki Al-Qur’an, tapi Al-qur’an itu hanya dijadikan sebagai pajangan atau dijadikan sebagai benda keramat yang disucikan sehingga tidak pernah dipegang. Oleh karena itu, jika memegang Al-Qur’an saja tidak pernah, bagaimana mungkin dia akan akrab dengannya?
Indikator selanjutnya adalah jika Al-Qur’an sudah dipegang, sudahkah dibuka dan dibaca? Jangan-jangan Al-Qur’an dipegang hanya dijadikan sebagai jimat saja. Oleh karena itu, jika Al-Qur’an sudah dipegang, maka tanda keakraban diri dengan Al-Qur’an adalah dengan membuka dan melafadzkannya. Jika sudah dilafadzkan, indikator berikutnya adalah berapa waktu yang kita kuotakan untuk mengakrabkan diri melafadzkan Al-Qur’an. Sebulan sekali, seminggu sekali, sehari sekali ataukah sehari satu juz dan seterusnya. Semakin sering melafadzkan Al-Qur’an, berarti kita semakin akrab dengannya.
Hadirin jamaah shalat jum’at yang dirahmati Allah.
indikator keakraban kita dengan Al-Qur’an semakin meningkat jika kita tidak hanya sekadar melafadzkan Al-Qur’an secara rutin sampai berkali-kali khatam. Keakraban kita dengan Al-Qur’an akan semakin besar jika kita mulai melangkah untuk mengkaji, mendalami dan memahami isi kandungan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an. Hal inilah yang diperintahkan Allah SwT secara tersirat dari Al-Qur’an:
Adapun puncak dari keakraban kita dengan Al-Qur’an adalah jika nilai-nilai ajaran Al-Qur’an yang merupakan petunjuk kehidupan itu diinternalisasi ke dalam diri kita dan kemudian menjadi landasan segala amal perbuatan kita. Jika hal itu dapat dilaksanakan, berarti nilai-nilai Al-Qur’an telah menyatu dengan diri kita. Alangkah berbahagianya kita jika Al-Qur’an betul-betul dapat menyatu dalam diri kita.
Hadirin jamaah shalat jum’at yang dirahmati Allah.
Hanya saja, untuk menjadikan diri kita begitu akrab dengan Al-Qur’an tidaklah muda. Bahkan pada masa Rasulullah saw dahulu pun masih banyak di antara umat Islam yang menjauhi Al-Qur’an seperti yang dikeluhkan Rasulullah saw seperti yang disebutkan di dalam Qs Al-Furqan [25]: 30, yaitu:
Artinya: Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diperhatikan”.
Untuk itu, guna mengantisipasi apa yang dikeluhkan oleh Rasulullah saw tersebut, maka kita harus terus menggelorakan semangat untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an. Kita masyarakatkan Al-Qur’an dan kita Al-Qur’an kan masyarakat. Semoga Allah SwT meridhai segala upaya kita untuk menuju pada kebaikan, amiin ya rabbal ‘alamin.
Khutbah kedua
Jamaah yang berbahagia, pada khutbah yang ke-2 ini, dengan memperhatikan penjelasan pada khutbah pertama di atas, sekadar saya mengingatkan bahwa gerakan pengakraban diri umat Islam terhadap Al-Qur’an harus terus digelorakan. Jika kemarin ada gerakan Indonesia menghafal Al-Qur’an, kemudian muncul gerakan one day one juz, maka sudah saatnya kita tingkatkan menuju gerakan Indonesia memahami Al-Qur’an. Untuk itu, gerakan kajian-kajian tafsir Al-Qur’an harus dimunculkan di mana-mana dan pada akhirnya semoga kita dapat wujudkan gerakan yang sangat dahsyat, gerakan revolusioner di Indonesia yaitu Indonesia mengamalkan Al-Qur’an. Jika hal itu dapat terwujud, maka cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya akan menjadi realitas. Semoga Allah senantiasa menuntun kita semua, amiin ya rabbal ‘alamiin.
Jamaah shalat jum’at rahimatullah.
Akhirnya marilah kita berdoa dan bermunajat kepada Allah SwT memohon ampun dan rahmat-Nya.•
——————————-
Ahmad Afandi, adalah Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sleman
(Diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah 14 / 101|10-25 Syawal 1437 H )