SUARA MUHAMMADIYAH, Orang-orang sebelum kamu dalam ayat di atas adalah Ahlul Kitab, khususnya orang-orang Yahudi. Dalam agama Yahudi terdapat beberapa macam puasa, di antaranya yang penting adalah puasa Yom Kippur yang dilaksanakan pada tanggal 10 Tishri (bulan ke-7 dalam kalender agama Yahudi atau bulan ke-1 dalam kalender sivil Yahudi). Puasa ini dilaksanakan sejak matahari terbenam pada hari sebelum Yom Kippur hingga matahari terbenam pada hari Yom Kippur tersebut. Puasa dilakukan dengan tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan pasutri, tidak memakai wangi-wangian dan tidak memakai sepatu kulit. Puasa Yom Kippur ini ditegaskan dalam Taurat, yaitu Kitab Imamat Orang Levi. (The Holy Bible: Revised Standard Version (New York, Toronto, London: Thomas Nelson & Sons, 1952), Laviticus 23: 27 dan 32; Alkitab (Bogor: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia, t.t.), Kitab Imamat Orang Levi, pasal 23: 27 dan 32). Beberapa penulis memandang bahwa puasa Yom Kippur inilah yang dimaksud puasa Asyura di mana Nabi saw menemukan orang Yahudi melakukannya saat beliau tiba di Madinah. (Rida, Tafsir al-Manar, II: 115; Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, II: 174). Puasa lainnya dalam agama Yahudi adalah puasa Tanggal 9 Av (bulan ke-5 menurut kalender agama Yahudi) yang juga dilakukan sejak terbenam matahari hingga terbenam matahari berikutnya. Masih terdapat beberapa puasa minor yang dilakukan sejak subuh hingga terbenam matahari, yaitu puasa Gedaliah, puasa Esther, dan puasa 17 Tammuz (bulan ke-4 dalam kalender agama Yahudi). (Mengenai puasa dalam agama Yahudi lihat Husain, al-Islam wa al-Yahudiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425/2004), h. 285-297; “Juwish Holidays: Fasting and Fast Days,” http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/holidaye.html.). Dalam agama Nasrani tidak ada perintah atau kewajiban puasa. Cerita tentang puasa dalam agama ini adalah riwayat-riwayat Bibel (Alkitab) tentang puasa 40 hari Jesus dan puasa 40 hari Musa di Gunung Sinai. Lagi pula puasanya hanya berupa meninggalkan makan makanan tertentu atau hanya makan satu macam makanan saja. (“Christian Fast,” http://www.howtofast.net/spiritual/christianity.html.).
Bagian akhir ayat 183 menjelaskan hikmah berpuasa, yakni membentuk manusia yang bertakwa. Takwa merupakan gabungan sifat-sifat keimanan yang kuat dan sifat-sifat solidaritas dan kesadaran sosial yang mendalam. Pada permulaan surat ini (ayat 2-5) terdahulu digambarkan tentang orang bertakwa sebagai orang yang memiliki padangan hidup berlandaskan keimanan dan jalan hidup berasaskan kesalihan spiritual dan kesalihan sosial. Pada surat 3 (Ali Imran) ayat 133-135 dijelaskan lagi ciri orang bertakwa dengan menekankan sisi kesalihan sosial dari ketakwaan. Jadi orang bertakwa adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir dan melaksanakan ibadah yang khusyuk kepada-Nya. Namun dalam waktu yang sama orang bertakwa juga adalah orang yang memiliki komitmen tinggi untuk membangun solidaritas sosial dan memajukan kesejahteraan sesama terutama kaum yang lemah. Jadi puasa, di samping sebagai kewajiban agama yang harus dijalankan, juga sekaligus merupakan sarana pengokohan iman dan pembentukan sikap hidup yang memiliki kepedulian terhadap sesama.
Tetapi perlu diingat bahwa puasa tidak secara otomatis menjadikan pelakunya bertakwa. Oleh sebab itu di dalam ayat ini digunakan kata la‘alla yang menunjukkan harapan, artinya dengan berpuasa diharapkan terbentuk insan yang bertakwa. Untuk puasa itu benar-benar dapat membuat pelakunya menjadi insan yang bertakwa, maka puasa itu harus dilakukan dengan kesadaran yang tulus atas dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya. Apabila dilakukan hanya sekadar sebagai adat kebiasaan dan rutinitas yang mekanistik atau juga hanya sekadar mengikuti tradisi lingkungan, maka puasa itu akan menjadi tidak lebih dari sekadar kegiatan fisik belaka dan tidak memberi makna simbolik dan nilai spiritual yang diharapkan. Terhadap hal ini Nabi saw mengingatkan dalam suatu Hadits yang diriwayatkan dari beliau,
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa yang dari puasanya hanya memperoleh lapar dan dahaga belaka dan berapa banyak orang yang shalat malam yang dari shalat malam itu hanya memperoleh lelah tidak tidur belaka [HR Ahmad dan dinyatakan baik sanadnya oleh al-Arna’ut]. (Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XIV: 445, hadis no. 8856).
Nabi saw juga menegaskan bahwa pelaksanaan puasa tidak dimaksudkan hanya sekadar terpenuhinya suatu kewajiban syar’i. Apa yang lebih penting adalah hasil dari menjalankan ibadah tersebut. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan,
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan berkata dan berbuat bohong serta kejahilan, maka Allah tidak memerlukan orang itu meninggalkan makan dan minumnya [HR al-Bukhari]. (Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 1113, hadits no. 6057, “Kitab al-Adab”).
Hadits ini menekankan makna relijius puasa pada hasil yang diwujudkannya dalam prilaku yang baik. Apabila tidak menghasilkan prilaku yang baik, sebaliknya pelaku puasa masih tetap mengerjakan perbuatan tidak baik yang dalam Hadits ini dicontohkan dengan perbuatan dusta dan jahil, maka puasa orang itu tidak memiliki makna spiritual apa pun di sisi Allah. Di Indonesia tidak disangkal amat banyak orang berpuasa. Tetapi menjadi suatu ironi bahwa di tengah-tengah masyarakat yang rajin berpuasa itu sejumlah perbuatan dusta dan jahil, seperti korupsi misalnya, tetap marak dilakukan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia termasuk bilangan negara yang tingkat korupsinya tinggi. Tampaknya tidak ada perbandingan terbalik antara puasa dan korupsi. Seharusnya semakin tinggi tingkat orang berpuasa, semakin rendah intensitas korupsi. Di sini mungkin ada suatu cara yang salah dalam melaksanakan puasa sehingga tidak membuahkan makna yang dimaksudkan oleh ibadah puasa itu sendiri. Mungkin sekali puasa hanya dilaksanakan sebagai suatu rutinitas ritual yang dikerjakan secara otomatis belaka, sehingga tidak memberikan sentuhan ruhani yang membekas. Tampaknya agar puasa dapat mencapai tujuannya untuk membentuk insan yang bertakwa diperlukan suatu perjuangan oleh pelaku dalam melaksanakan ibadah puasa yang berbasis pada keikhlasan dan ketulusan mencapai ridha Allah ini.
C. Beberapa Ketentuan Puasa (Ayat 184)
Ayat 184 memberi penjelasan tentang beberapa segi hukum berpuasa Ramadhan. Pangkal ayat, (Yaitu) pada beberapa hari tertentu merupakan keterangan waktu yang menjelaskan masa pelaksanaan puasa (Ramadhan) yang diwajibkan, yaitu pada beberapa hari tertentu saja. Jumhur ulama ahli tafsir menegaskan bahwa frasa Yaitu pada beberapa hari tertentu itu maksudnya adalah bulan Ramadhan. Penyebutan frasa tersebut menegaskan bahwa waktu berpuasa itu ditentukan harinya dan sekaligus frasa tersebut mengandung konotasi sedikit atau tidak lama, artinya untuk menimbulkan kesan bahwa kewajiban puasa itu bukan suatu yang terlalu berat karena hanya beberapa hari saja yang tidak terlalu lama.
Terdahulu juga telah disinggung adanya efek untuk menimbulkan kesan psikologis bahwa puasa bukan suatu yang amat berat dengan menyebutkan bahwa orang-orang terdahulu juga melaksanakannya. Pada ayat ini ditambah dengan menyebutkan bahwa pelaksanaannya tidak sangat lama, tetapi hanya beberapa hari tertentu saja. Kata ma‘dudat’ dalam ayat ini, yang secara harfiah berarti dapat dihitung, mengandung pengertian sedikit karena dapat dihitung dengan mudah. Dalam al-Qur’an sendiri pengertian seperti ini sering dijumpai, misalnya dalam ayat (Qs 3: 24), … mereka berkata, ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja’ (ayyaman ma‘dudat). Juga pada ayat lain (Qs 12: 20), Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja (darahima ma‘dudah). (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1426/2005), I: 180).•• Bersambung
———————————
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr H Syamsul Anwar.