JAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan bahwa Santoso pernah dianggap sebagai pahlawan oleh warga muslim Poso pada masa konflik Ambon dan Poso tahun 1999-2001. Konflik Poso masih menyimpan misteri dan belum terpecahkan hingga hari ini, meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan.
Ketika itu, sosok Santoso merupakan salah satu orang yang disegani dan dianggap pahlawan, tidak hanya di satu desa yang ia tinggali tetapi juga masyarakat desa lainnya. Sebab, keberadaan dan peran Santoso pada konflik Poso sangat strategis. Santoso yang berada di garda depan tentara muslim dianggap sebagai sosok yang sangat berjasa.
“Santoso kenapa sampai dikuburkan dan ratusan orang datang, bukan seolah membela ideologi radikalnya, tapi dia adalah pahlawan pada saat terjadi konflik,” ujar Tito dalam diskusi di kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisation (CDCC), Jalan Kemiri 24, Menteng, Jakarta, Kamis (4/8).
Polisi menyebut Santoso dan kelompoknya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjalin hubungan dengan Islamic State-ISIS. Sepak terjang MIT juga diyakini dibiayai oleh IS. “Di desa warga muslim yang menjadi minoritas, warga nasrani menyerang dan kelompok Santoso berada di garis depan membela. Sehingga bagi mereka (masyarakat) dia (Santoso) adalah pahlawan, apapun tugas belakangan menjadi radikal itu nomor dua, tapi nomor satu pada saat konflik dia melindungi mereka,” kata dia.
Menurut Tito, salah satu alasan mengapa kelompok Santoso bisa hidup dan menjadi salah satu ancaman bagi Indonesia adalah karena adanya dendam masa lalu pada saat konflik di Poso pecah. Karena adanya masalah yang tak selesai, kelompok ini kemudian mudah dirasuki paham-paham radikalisme yang kemudian mereka anggap bisa membalaskan dendam mereka.
Tito menilai, apa yang terjadi di Poso pada masa konflik tak selesai direhabilitasi secara tuntas. Masih ada benih-benih dendam yang kemudian bisa memuncak setelah dirasuki paham radikalisme. Terlebih diprovokasi dengan agama. Santoso bukan satu-satunya dari jaringan kelompok teroris yang mulanya dilatarbelakangi oleh dendam masa lalu dengan melampiaskan melalui aksi-aksi kriminal dan kekerasan.
Menurut Kapolri, ketika kelompok ini terbentuk lalu kemudian terjadi konflik atas nama Tuhan lebih berbahaya efeknya daripada konflik-konflik lainnya. “Konflik terberat mengandung unsur keagamaan, karena dianggap perintah Tuhan sehingga berani siap untuk mati,” kata Kapolri Tito (Ribas).