JAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan bahwa kebebasan yang tanpa batas menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, undang-undang memberikan jaminan dan kebebasan bagi siapa pun untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat. Kebebasan menjadi pertanda tegaknya pilar demokrasi. Namun di sisi lain, Tito menilai bahwa kebebasan yang keblablasan juga menjadi sumber masalah tersendiri.
“Di satu sisi kita ingin membangun kerukunan beragama, tapi kita berhadapan dengan demokrasi liberal yang bolehkan kebebasan ekspresi, berserikat, mengeluarkan pendapat dan lainnya, jadinya semua bebas,” ujarnya saat menjadi pembicara utama dalam acara ‘Dialog Bersama Kapolri’ yang digelar Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) di kantor CDCC, Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/8).
“Iklim kebebasan ini mau dikemas seperti apa? Kebebasan sebebas-bebasnya ditambah ada media social,” ujar jenderal akademisi itu di hadapan Din Syamsuddin dan para tokoh lintas agama lainnnya yang hadir dalam acara itu.
Jaminan kebebasan itu juga digunakan sebagai legitimasi oleh kelompok intoleran, radikal dan bahkan anti demokrasi. Terlebih era media social mempermudah semua orang untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian atau bahkan provokasi. “Misalnya, mengkafirkan agama lain di media sosial dan menganggap agama lain tidak lebih baik dari agamanya,” kata Tito.
Tito mengingatkan bahwa ada beberapa persoalan yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, bagaimana menghadapi gelombang demokrasi yang mengarah ke liberal ini. Kedua, pilar-pilar yang menegakkan Pancasila berupa Bhineka Tunggal Ika, dalam praktiknya masik berjalan semu dan cenderung meredup. “Ini harus dikuatkan agar bisa tahan dari serbuan demokrasi liberal. Karena kalau tidak malah cerai berai,” tutur Tito.
Menurut Tito, salah satu dampak dari kebebasan yang keblablasan ini adalah munculnya kelompok yang menggunakan tameng kebebasan untuk membenci keyakinan dan kepercayaan kelompok lain. Ujung-ujungnya adalah konflik atas nama agama.
Padahal, kata Tito, persoalan toleransi dan kerukunan umat beragama seharusnya sudah selesai setelah puluhan tahun Indonesia merdeka. Namun faktanya, kasus intoleransi masih kerap terjadi. Kasus terakhir adalah kerusuhan dan pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara (Ribas).