Penanganan Terorisme Perlu Libatkan Pendekatan non-Hukum

Penanganan Terorisme Perlu Libatkan Pendekatan non-Hukum

YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Berbicara dalam forum Seminar Nasional Kajian Hukum Terhadap Revisi UU No 15 Tahun 20013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, di Hall Asri Medical Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (AMC UMY), Sabtu (6/8), aktivis HAM mengingatkan bahwa kebijakan penanganan terorisme perlu melibatkan beragam pendekatan.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan perlunya beragam pendekatan non-hukum untuk menangani terorisme secara holistic. “Dibutuhkan pendekatan non-hukum yang sifatnya prefentif: pendidikan, ekonomi, cultural, semisal dialog antar umat beragama, dan lain-lain,” ungkapnya.

Termasuk dalam hal ini keterlibatan organisasi kemasyarakatan, semisal Muhammadiyah dan NU yang bekerja secara kultural. Karena terorisme adalah musuh bersama dan perlu untuk ditanggulangi bersama. Termasuk kerjasama regional dan internasional.

“Dalam mencegah terorisme tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah tetapi juga membutuhkan peran keluarga, sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat,”  ujar Al Araf yang menjadi salah satu pembicara selain Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, akademisi Eddy Hiariej dan Trisno Raharjo, Anggota Panja RUU Terorisme DPR RI Asrul Sani, Direktur Harmonisasi Ditjen PP Kemenkum dan HAM Karjono.

Al Araf juga mengatakan bahwa pendekatan penanganan terorisme harus tetap dalam koridor penegakan hukum.  Menurut Al Araf, hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk mengatur pelaksanaan kewenangan negara. “Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power,” ungkapnya.

Atas dasar itu, Al Araf menentang rencana untuk menambah atau memperluas tugas pokok dan fungsi TNI dalam Revisi Undang-Undang  Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pelibatan TNI baru bisa dilakukan ketika tindakan terorisme yang dilakukan telah mengancam kedaulatan negara, dengan syarat semua institusi sudah tidak mampu melakukannya dan melalui instruksi Presiden. “Militer sebagai pilihat terakhir ketika semua institusi sudah tidak bisa melakukan,” katanya.

Alasan lainnya, kata Al Araf adalah besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penangkapan sewenang-wenang, kalau militer turun tangan dalam tindak pidana terorisme yang menjadi wilayah tugas dan wewenang Polisi. Bahkan jika terjadi pelanggaran HAM, maka akuntabilitasnya sangat sulit dijangkau, karena berada di pengadilan militer. Berbeda dengan criminal justice system, prinsip militer adalah kill or be killed (Ribas).

Baca: Terorisme Sering Berbau Rasis, Pansus Harus Definisikan Ulang

Exit mobile version