YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan bahwa Pansus Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus bisa merumuskan sebuah definisi terorisme yang onjektif, tidak rasis dan tidak cenderung menyudutkan agama tertentu. Alasannya, tidak ada definisi yang tunggal tentang terorisme, serta motivasi seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat terror bukan anya dilatarbelakangi oleh factor agama atau kepercayaan, terlebih dibatasi pada agama tertentu saja.
“Motivasi terror tidak melulu didasarkan pada interpretasi orang-kelompok atas kepercayaan dan keyakinan agama. Motivasi terror juga dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, criminal, etnonasionalisme, maupun politik,” ungkap Al Araf dalam acara Seminar Nasional Kajian Hukum Terhadap Revisi UU No 15 Tahun 20013 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Sabtu (6/8) di Hall Asri Medical Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (AMC UMY).
Menurut AL Araf, karena terorisme bisa dilandasi oleh beragam sebab, maka pelaku tindak kekerasan juga dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai individu, kelompok, bahkan oleh negara. Oleh sebab itu, perilaku terorisme juga harus didudukkan dengan persoalan global dan dipandang dari beragam sudut yang memiliki keterkaitan.
Baca: Penanganan Terorisme Perlu Libatkan Pendekatan non-Hukum
“Terorisme pada masa kini, khususnya pasca perang dingin nampaknya lebih banyak dilakukan oleh actor non-negara. Tujuan, motif, skala aksi, jenis organisasi dan target sasaran aksi terorisme pada masa kini juga jauh lebih variatif sifatnya,” tutur Al-Araf dalam acara yang turut dihadiri oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, dan lainnya.
Bagi Al Araf, sasaran atau korban Dario serangan teroris bukan merupakan sasaran sesungguhnya. Namun hanya menjadi bagian dari taktik untuk melakukan intimidasi, koersi atau propaganda untuk mencapai tujuan. “Kesamaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas,” ujar aktivis HAM dan pengamat isu-isu pertahanan ini (Ribas).