YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.id-Aksi terorisme merupakan penggunaan ancaman atau ancaman kekerasan kepada masyarakat sipil dengan motif ideologis atau politis. Yang mana membuat aksi ini bisa dilakukan oleh warga negara sub-state ataupun state selama dilakukan terhadap sipil dan mengandung kekerasan dengan tujuan tersebut. Hal ini mengartikan bahwa negara pun bisa menjadi aktor pelaku terorisme. Akan tetapi, dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia, hanya membatasi kejahatan terorisme itu sampai di level sub-state atau warga negara.
Hal tersebut dijelaskan oleh Kapolri Tito Karnavian saat membuka acara Seminar Nasional “Kajian Hukum Terhadap Revisi UU No 15 Tahun 2003”, kerja sama antara POLRI dengan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Fakultas Hukum UMY pada Sabtu (6/8) di Convention Hall Asri Medical Center.
“Sedangkan kalau negara melakukan kekerasan kepada warganya akan diikat dengan undang-undang HAM bukan undang-undang terror. Artinya di Indonesia dibatasi pelakunya adalah warganegara,” ungkap Tito.
Tito juga menjelaskan bahwa tindakan terror yang dilakukan oleh teroris itu adalah sebuah strategi perang. Dalam 3 jenis perang yaitu Conventional war, Guerilla war dan the weapon of the weak yaitu terorisme. Terorisme menggunakan sumberdaya yang kecil untuk menghantam yang lemah yaitu rakyat sipil untuk menimbulkan dampak, yaitu yang juga menjadi tujuan terorisme adalah untuk menekan warga negara untuk melihat bahwa pemerintah sebuah negara lemah dan tidak bisa melindungi warganya.
“Tujuannya itu melemahkan wibawa pemerintah, sehingga dianggap tidak mampu menciptakan keamanan,” lanjutnya.
Sedangkan Tito pun menyebutkan bahwa yang menjadi motive jaringan terorisme di Indonesia adalah untuk mengconvert NKRI menjadi versi yang diinginkan para teroris, Tito melihat apa yang yang dilakukan mereka dengan aksi insurgency. Insurgency adalah perjuangan dari sebuah kelompok di luar pemerintahan kepada pemerintah dengan sumberdaya politik dan militer dalam rangka mengambil alih kekuasaan.
“Insurgency memiliki dua strategi yaitu dengan gradual strategy salah satunya yang dilakukan oleh Mao Zedong dan military focus seperti yang diterapkan oleh Che Guevara. Di Indonesia saya lihat kedua strategi ini dipakai,” tutur Tito.
Penanganan terorisme menurut Tito tidak pernah sepenuhnya menggunakan pendekatan hard-measure atau cara-cara kekerasan yang terdiri dari militer, intelligent dan law enforcement agency sepenuhnya, akan tetapi dibarengi dengan pendekatan soft-measure seperti political negotiation secara simultan. “Periode bom Bali menjadi turning point dalam penanganan terorisme di Indonesia. Sebelumnya menggunakan intelligent lead strategy pada zaman orde baru menjadi Law enforcement lead strategy atau dengan mengedepankan penegak hukum dalam penanganan teroris,” tandas Tito (Th).