Tiga Peluru

Tiga Peluru

Disgruntled worker bringing a gun to work

Cerpen Ulfatin Ch

Peluru itu sudah bersarang di kepalanya, dua peluru lagi juga bersarang di dadanya. Tapi, entah mendapat mukjizat dari mana, Jose masih bisa berjalan sampai di pos penjaga kota untuk melaporkan penembakan atas dirinya.
“Bapak, aku ditembak di kepalaku, di dadaku oleh orang yang tak kukenal. Kumohon, bapak segera menangkap orang itu.” Dengan berlumuran warna merah, Jose lantang bicara, tapi kemudian lunglai jatuh tak bertenaga. Para aparat pun berhambur menghampirinya dan tentu saja Jose sudah tak bergerak lagi, ketika dilarikan ke rumah sakit untuk diperiksa, nyawa Jose sudah tak tertolong.
Satu-satu berdatangan keluarga Jose setelah mendapat pemberitahuan dari pihak aparat. Istrinya tergopoh-gopoh menghampiri jasad Jose dengan menangis. Anaknya yang semata wayang mengikuti dari belakang, kakak-adiknya Jose, juga tetangga-tetangganya ikut memenuhi ruang terakhir di dalam rumah sakit.
Di ruang otopsi, tubuh Jose terbujur.  Tiga dokter saling berargumentasi beradu mengeluarkan tiga butir peluru. Sebuah gunting bedah, pisau, dan beberapa alat lain berceloteh juga saling berunjuk bahwa dirinyalah yang paling berhasil mengeluarkan peluru-peluru di dada dan kepala Jose. Mereka pun tak ingin kalah dengan kemahiran dokter yang memainkannya.
“Ciaatt,” sebuah peluru meloncat dari sarang kepala Jose yang sengaja dipitak lebih dulu  untuk mempermudah jalan pengeluaran peluru itu.
“Yes. Aku berhasil…,” sorak gunting kegirangan begitu melihat hasil buruannya menggulir di waskom stenlis. Ia tak sengaja mendepak peluru itu dan mencuat keluar dari persembunyiannya.
“Hai, peluru. Jangan kau ulang lagi ya main petak umpet denganku.” Kata gunting geram.
“Hai, Gun. Gunting. Siapa juga yang main petak umpet denganmu. Aku juga gerah tahu, lama-lama tinggal di kepala Jose …. Mana rambutnya bau, banyak ketombe lagi. Haahh!” Peluru dari kepala Jose pun berjingkrak-jingkrak kegirangan di atas waskom stenlis dan itu menyebabkan badan waskon ikut bergoyang di atas meja bedah.
“Siapa suruh tidur di kepala Jose. Dia itu teroris, setiap saat bisa saja ditembak atau dieksekusi tiba-tiba. Dan siapa suruh nasib jadi peluru. wkwkwwk.”
“Tapi, enak juga jadi petualang begini. Siapa tahu bisa nyasar di kepala bos besar, atau di kepala koruptor 100 triliyun itu. Pasti dia punya rambut super harum baunya. Aku akan tidur  dengan nyenyak seratus tahun lamanya. Wkwkwkwk. Omong-omong, apa bedanya teroris dan koruptor? Keduanya sama membuat kekacauan negara. Iya to?”
“Hah, aku juga ingin menguliti kepala koruptor-koruptor itu, dimana kau bersembunyi dan akan kukeluarkan segera. Biar tidak lama-lama kau tidur. Hehehe.” Kata gunting digenggaman seorang dokter forensik yang akan segera membedah dada Jose dan mengeluarkan dua peluru di dalamnya. Agak susah juga rupanya. Karena satu peluru berada di jantung Jos dan satunya lagi tepat di hati Jose. Entah kenapa, peluru-peluru itu begitu lihai dan tepat mencari sasaran. Kenapa tidak nyasar di tangan atau kaki saja, sehingga Jose masih dalam keadaan hidup dan merasakan betapa sakitnya sebagaian tubuhnya disemayami timah panas itu. Sebagaimana dia telah menyemayami banyak harta dan jiwa yang bukan miliknya. Siapa yang sakit?
“Aku memilih hati Jos sebagai tempat singgahku. Karena aku ingin Hati Jose bersih dari niatan-niatannya untuk menguasai milik orang banyak untuk dikuasainya sendiri, seperti koruptor itu juga. Meskipun Jose cuma ingin menguasai kekacauan, agar orang-orang gelisah, tidak bisa tidur nyenyak. Dan koruptor-koruptor itu menjadikan rakyat tidak bisa tidur tenang karena lapar. Rakyat dipaksa tiarap mencengkram perutnya yang kosong, sementara koruptor-koruptor itu berkendara di atas kepalanya. Bagaimana rakyat bisa tidurr..?” Celoteh peluru di hati Jose.
“Aku memilih jantungnya. Karena jantung inilah yang memompa darah, menggerakkan seluruh anggota badan; tangan, kaki, mata, telinga untuk mengintai dan membuat kekacauan negara. Lagi pula Jose bukanlah koruptor, dia teroris, teroris kecil. Sebab yang besar masih disimpan untuk menghidupi penembak jitu, penggrebeg jitu, aparat jitu, agar mereka bisa hidup dan berfoya-foya dengan bir yang kata seorang pejabat itu menyehatkan. Heh, hehehe. Dasar pejabat gemblung.”
“Aaahhhhh, sudah! Jangan banyak omong. Ayo, keluar dari jantung Jose, biar tugasku selesai.” Kata gunting alias Mr Gun yang sejak tadi memelototinya. Gunting bekerja sama dengan pinset menjebol jantung Jose yang jasadnya sudah memucat dan dingin. Dokter forensik yang memainkan kedua alat ini bagai memainkan sebuah permainan salto di atas permadani merah.
“Ayoo, buruan. Aku sudah lelah sekali menatapmu sejak pagi. Cepaattt!”
“Aduh. Pelan-pelan Mr Pin, sakit tahu. Kau pikir aku tidak capek. Aku juga capek sekali, Mr Pin…” Pinset memilin kencang si peluru dan melemparkannya di waskom bersama kedua peluru yang sudah dikeluarkan dari sarangnya.
“Yoohui, hidup Jose!”
“Hai, hidup Jose bagaimana? Jose sudah mati, tahu?! Ruhnya sudah bergentayangan mencari tempatnya. Sementara syaitan-syaitan terus menariknya kesana kemari, agar tak sampai-sampai ditempatnya. Dan sebentar lagi jasadnya akan dikuburkan bersama rekan-rekannya dan akan segera mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari malaikat. Hehehe,” celetuk Mr Pinset berlumuran merah setelah berhasil mengeluarkan peluru dari hati Jose dan buru-buru mengguyur tubuhnya dibawah pancuran wastfel di ruang otopsi.
Gunting masih berdiam di meja otopsi. Tubuhnya dibiarkan berlepotan darah segar Jose yang tewas dihantam tiga peluru itu. Dia tak habis pikir, kenapa Jose dengan mudah bisa dilumpuhkan. Biasanya seorang teroris apalagi koruptor tidak mudah dibekuk. Tubuhnya bagai seekor belut di dalam lumpur. Siapapun bisa dengan mudah melihatnya, tetapi tidak mudah untuk menangkapnya!•

Exit mobile version