YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id– Sosok Buya Hamka dan Hasbi As-Sidqi, dikenal sebagai ulama-ulama yang mengkaji ilmu pengetahuan berbasis pada Al Qur’an. Kehadiran tokoh-tokoh ulama tersebut perlu dihidupkan kembali di masa kini, terutama oleh perguruan tinggi Islam, Muhammadiyah dan organisasi masyarakat (ormas) islam lainnya.
Hal tersebut dikemukakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, dalam pembukaan Festival Al-Qur’an di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (10/08). Lukman juga menyebutkan bahwa umat Islam harus selalu mengingat petuah “ar-ruju’ ilal Qur’an was-sunnah” (kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah.”
“Al Qur’an hadir sebagai petunjuk bagi para ilmuwan untuk mendapatkan ide dan membuat teori. Sejarah mencatat bahwa para ilmuwan mengembangkan ilmu-ilmu baru dengan telaah dari Al Qur’an. Al Qur’an merupakan basis bagi ilmu yang akan memancarkan cakrawala,” ujar Lukman.
Lukman juga menyebutkan bahwa Al Qur’an tampil memberikan inspirasi atau dorongan bagi kaum yang berfikir khususnya yang membangun ilmu pengetahuan bagi yang berijtihad. “Al-Qur’an tidak memberikan rumus-rumus ilmu pengetahuan secara detil supaya kita berijtihad mencari mutiara-mutiara ilmu yang belum ada selama ini,” terang Lukman.
Selain sebagai pedoman dalam ilmu pengetahuan, Al Qur’an disebut Lukman juga memiliki kandungan seni di dalamnya. Selain ayat-ayat yang memiliki susunan bahasa yang indah, cara membaca Al Qur’an yang indah dinilai dapat menjadi magnet dalam mengembangkan seni di masa mendatang.
Di samping itu, Lukman berharap bahwa dengan diadakannya Festival Al Qur’an dapat menumbuhkan semangat cinta terhadap Al Qur’an di kalangan umat Muslim di Indonesia. “Melihat dunia Islam di timur tengah yang saat ini sedang berkecamuk, Indonesia perlu mengambil peran signifikan yang dapat dijadikan model oleh masyarakat muslim di dunia ini,” terang Lukman.
Di akhir sambutannya, menteri Agama juga mengusulkan bahwa perlombaan dalam Festival Al Qur’an kedepannya tidak sekedar melombakan tilawatil Qur’an, syarhil Qur’an atau fahmil Qur’an saja. “Saya ingin kedepannya dilombakan bagaimana kisah-kisah dalam Al Qur’an bisa dinarasikan, dan diungkap kembali dengan cara tertentu. Mahasiswa kan kreatif, jadi mereka akan bisa mengisahkan kisah-kisah dalam Al Qur’an dengan cara mereka yang kreatif,” harap Lukman (bhp-deansa).