Toleransi, Mengapa Sulit Terwujud?

Toleransi, Mengapa Sulit Terwujud?

YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id– Toleransi merupakan wacana yang memiliki kompleksitas definisi. Secara umum, toleransi terkait erat dengan keinginan untuk menerima keberadaan kepercayaan atau iman yang berbeda dengan yang dianut, meskipun tidak setuju dengan kepercayaan tersebut. Dalam prakteknya, mewujudkan toleransi secara menyeluruh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Mega Hidayati, toleransi itu harus ditumbuhkan secara aktif, dengan bertindak di sektor privat atau public untuk membuat minoritas merasa diterima berdasarkan nilai-nilai subjektif yang dianut minoritas. Toleransi tidak terjadi jika umat beragama hanya pasif.

“Jangan menunggu orang lain untuk toleran kepada kita. Tapi kita yang memulai ke orang lain,” ungkap Mega dalam acara Seminar Nasional Memelihara Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Rabu (10/8), yang juga dihadiri oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni, Muhammad AS Hikam dan Pdt. Andreas A Yewangoe.

Berdasarkan standar kriteria, Mega menyatakan bahwa toleransi harus mencakup nilai-nilai pengakuan, respek, non kekerasan, non diskriminasi, non pemaksaan, dan kenyamanan berekspresi.

Dalam paparannya, Mega menunjukkan beberapa tantangan dalam mewujudkan toleransi di Indonesia. Tantangan pertama adalah adanya prasangka. “Prasangka tidak mungkin dihindari dalam kehidupan manusia. Hubungan antar umat beragama di Indonesia melibatkan prasangka yang telah ada sejak masa penjajahan. Prasangka yang tidak diatasi dengan cara yang benar berpotensi memperkeruh hubungan antar umat beragama,” ungkap Mega.

Kedua, tantangan pendidikan. Di dalamnya terkait dengan persoalan identitas serta nilai-nilai ekslusif dan inklusif. Ketiga, tantangan media. Dalam hal ini terkait dengan labelilasi, penciptaan image, dan industri. “Pemberian label saat memberitakan isu agama berdampak nyata pada relasi antara pemeluk agama di masyarakat,” ujarnya.

Tantangan keempat, pemerintah dalam hal tipe toleransi seperti apa yang ingin dicapai oleh pemerintah. Kelima, isu diskriminasi dan kekerasan.

Mega menawarkan beberapa solusi. Yang paling utama adalah pentingnya bertemu atau bergaul dengan penganut beragam agama lain. Dialog atau pertemuan ini memungkinkan klarifikasi prasangka dan memperluas cakrawala. Sedangkan bagi media, Mega menyarankan supaya bisa memegang kuat prinsip etika dan lokalisasi kasus. Selama ini, ada beberapa kasus intoleransi kecil hanya untuk skup kampung yang kemudian berimbas besar dan ikut mempersulit penanganan oleh sebab opini media.

Bagi pemerintah, Mega menyarankan untuk selalu menjaga netral dengan kebijakan yang non diskriminatif, menegakkan hukum, mensosialisasikan nilai-nilai toleransi yang mengakar melalui pendidikan, serta memperjelas konsep toleransi yang diterapkan di Indonesia (Ribas).

Exit mobile version