YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id– Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa antara rumah ibadah dan tempat ibadah memiliki sisi berbeda dalam ranah sosial dan hukum. Oleh karena perbedaan itu, prosedur pendirian rumah ibadah dan tempat ibadah mengikuti tata cara dan kosekuensi yang berbeda pula.
Menurut Lukman, tempat ibadah biasanya tidak memiliki persyaratan apa pun dalam proses pembangunannya dan bersifat privasi serta tidak permanen. Digunakan untuk ibadah dalam lingkup tidak melibatkan public. “Tempat (tempat) itu bisa di mana saja,” ungkap Lukman Hakim dalam acara Seminar Nasional dengan tema Memelihara Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Rabu (10/8), sebagai keynote speaker.
(Baca Juga; 51 Universitas Muhammadiyah dan Aisyiyah Ikuti Festival Al-Qur’an di UMY )
“Kalau rumah ibadah itu bangunan khusus yang ada aspek sosiologis, yuridis, aturan bersama yang diikuti bersama,” kata Lukman di acara yang juga diselingi dengan peluncuran Seri Studi Intensif Tentang Islam (SITI) berjudul “Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen”, serta turut dihadiri oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan Antar Agama dan Peradaban Prof Syafiq A Mughni, Muhammad AS Hikam, Mega Hidayati, dan Pdt. Andreas A Yewangoe.
Dikarenakan rumah ibadah lebih bersifat public, kata Lukman, maka proses pendirian rumah ibadah memiliki persyaratan tertentu. Persyaratan itu tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006.
Dalam PBM disebutkan bahwa rumah ibadah(t) adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
(Baca Juga; Prof Habib Chirzin: Globalisasi Membawa Paradoks, Perlu Tajdid Baru )
Lukman menyatakan bahwa selain harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, pendirian rumah ibadah(t) harus memenuhi persyaratan khusus, meliputi: minimal adanya 90 KTP atau orang yang menghendaki rumah ibadah tersebut dibangun dan harus ada persetujuan atau dukungan dari minimal 60 orang di mana rumah ibadah itu dibangun, serta mendapat rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota.
Atas dasar PBM tersebut, Menteri Lukman mengimbau kepada para pemeluk agama untuk saling menghormati dan menjaga kerukunan. Karena konflik sering muncul karena kedua belah pihak sama-sama ngotot dan bersikeras dengan prinsipnya masing-masing.
Lukman menyatakan bahwa saat ini Kementerian Agama sedang mengkaji dan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama (PUB). “Regulasi itu tetap diperlukan, meski lemah. Kita beradab di tengah keragaman,” ujar Lukman, yang pada hari itu turut membuka acara Festival Nasional MTQ dan Pameran Al-Quran di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Ribas).