Minder Jadi Muslim Indonesia? Ini Jawaban Prof Azyumardi Azra

Minder Jadi Muslim Indonesia? Ini Jawaban Prof Azyumardi Azra

YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Cendekiawan muslim Indonesia, Prof Azyumardi Azra menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak perlu minder atau merasa rendah diri dengan identitas keislamannya yang unik. Sebabnya, kualitas keberagamaan muslim Indonesia tidak kalah dibanding dengan muslim di berbagai negara lain di seluruh dunia.

Dalam Seminar Al-Quran dengan tema “Reaktualisasi Al-Quran untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (11/8), Azra menyatakan ada fenomena muslim Indonesia bermental pesimis, bahwa menjadi muslim di Indonesia dirasakan kurang sempurna dibandingkan dengan muslim di negara-negara Arab. Terutama jika perbandingan itu dilihat dari sisi symbol dan aspek formalisasi. Padahal menurut Azyumardi, muslim Indonesia memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh banyak muslim di tempat lain.

Dalam hal kohesi sosial, muslim di Indonesia memiliki indeks kohesi sosial yang sangat baik. Banyaknya acara seremonial yang ada dalam budaya Indonesia merupakan bagian dari silaturahim, yang menjadi ajaran agama. Untuk itu perlu dibarengi dengan kualitas.

Indikasi lain, kata Azyumardi, menurut penelitian bahwa tingkat kedermawanan orang Indonesia sangat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 98 persen orang Indonesia senang memberi dan berbagi.  Di Arab Saudi tingkat kedermawanannya berkisar sekitar 68 persen. Sedangkan Turki hanya 41 persen. Oleh sebab itu, kata Azra, tidak mengherankan, jika Bank Indonesia harus menyediakan uang cash Triliunan Rupiah hanya untuk menyambut Idul Fitri.

Demikian halnya penelitian dalam hal tingkat religiusitas muslim Indonesia ternyata juga sangat tinggi. Ada sebuah penelitian tahun 1986 oleh seorang Professor di UCLA tentang intensitas muslim melakukan ibadah jumat di tiga kota. Hasilnya, berturut-turut tingkat tertinggi adalah Jakarta, Kairo, dan Teheran.

“Ini seharusnya kita punya mentalitas pemenang bukan pecundang,” ungkap anggota Konsultan Ahli Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu yang juga mantan rector UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Azyumardi menekankan bahwa tingkat keislaman harusnya diukur dari hal-hal yang bersifat substansial, tegaknya nilai-nilai moral yang bersumber dari al-Quran. Bukan sebatas pada symbol-simbol budaya yang sifatnya lokal dan temporer, semisal jenggot, surban dan lainnya.

Guru besar Ilmu Sejarah itu menyatakan bahwa al-Quran turun dalam dinamika kehidupan bangsa Arab, menggunakan bahasa Arab. Bahasa merupakan produk budaya. Sehingga dalam penggambarannya, ada hal-hal yang terkait dengan faktor budaya. Semisal, penyebutan jenis zakat tidak disebutkan jenis padi atau beras, karena memang makanan pokok di Arab bukan beras.

Demikian halnya dalam bidang fikih. Sebagai contoh, ada perbedaan dalam kaidah ukuran air dua kulah menurut ulama di Mekah dan di Baghdad. Di Mekkah ketika itu air sangat sulit di dapat, sedangkan di Baghdad tidak ada masalah sumber air sama sekali, sehingga ukurannya lebih longgar atau lebih banyak (Ribas).

Exit mobile version